Jangan Tidur di Sekolah

abil kurdi
Chapter #6

Chapter #5 Jangan tidur di sekolah

Selepas jam pelajaran, aku dan Amar nongkrong berdua di lapangan. Kami mencatat informasi-informasi yang kami temukan di internet ke dalam buku binder yang bertuliskan “Kumis Nakal” singkatan dari Kumpulan Misteri Anak-anak Sekolah. Tidak ada banyak informasi di sana. Adapun, hanya sekilas, tidak ada cerita atau berita detail.

“Gimana Yog, internet nggak bisa diharapkan. Nggak ada yang detail. Paling mentok video yang katanya arwah gentayangan di gudang belakang dari akun lambemurah. Itupun gambarnya goyang-goyang. Mana pakai kualitas 3GP lagi, kualitas kampungan, kayak video-video yang sering ane tonton di warnet.” Amar pasrah, tidak banyak yang bisa ditemukan melalui handphonenya.

Sejauh ini, catatan misteri yang kami dapatkan adalah:

1.      Di SMA ini beberapa kali terjadi kesurupan.

2.      Siswa yang kesurupan ditemukan bunuh diri.

3.      Arwah siswa yang bunuh diri pernah terlihat di gudang belakang.

Dan misteri yang sudah kami pecahkan :

1.      Amar sebenarnya tidak mimpi basah di sekolah.

 “Ya sudah kita tanya orang-orang yang ada di sekolah ini aja,” usulku.

“Oke, tapi kita mulai dari mana?” tanya Amar padaku.

“Coba kita mulai dari awal aja, Mar. Ketika pertama kali kejadian kesurupan ini bermula?”

“Hmmm, kalau itu kita harus bertanya pada orang yang sudah lama ada di sini. Mungkin guru?” terang Amar memberi pendapat.

“Waduh, masa’ baru mulai sudah nanya-nanya ke guru. Sungkanlah.” Ya, aku masih malu-malu berbincang dengan guru di luar pelajaran.

“Kalau begitu selain guru, yang paling lama di sini itu ... penjaga sekolah.”

“Pak Nurdin!” seru kami dengan kompak.

Pak Nurdin sang penjaga sekolah. Tubuhnya renta, kulitnya kisut, setengah kepalanya tertutup uban, setengahnya lagi botak. Tugasnya mengunci ruangan ketika kelas telah usai. Kegiatan ekstrakurikuler di luar jam sekolah harus melalui dia. Tidak susah untuk ditemui karena rumahnya ada di belakang sekolah, dekat dengan warung tempat nongkrong anak-anak bandel yang pernah kudatangi waktu itu.

Bel sekolah yang kami nanti-nantikan berbunyi. Aku dan Amar duduk dengan tenang di gazebo, melihat satu per satu teman pulang meninggalkan tempat kami menimba ilmu ini. Hari ini aku tidak pergi ke gerbang sekolah untuk melihat Hana pulang seperti biasanya. Pikiranku terfokus pada pemecahan misteri sekolah ini.

Sekitar pukul empat sore, Pak Nurdin mulai menutup kelas dan menguncinya. Tangannya yang gemetar itu dipaksanya melaksanakan pekerjaan sesuai jobdesc-nya. Meski agak berat baginya karena lubang kunci yang telah berkarat, ia harus mampu memutar kunci pada pintu-pintu ruangan. Hanya pekerjaan ini sumber kehidupannya.

“Pak Nurdin!” teriak Amar.

Pak Nurdin sedikit kaget nampaknya. “Ada apa, nak? Kok belum pulang? Mau pinjam ruangan?” tanyanya.

“Oh, nggak pak. Mmm ... pak, kami boleh bertanya-tanya sedikit nggak?” tanyaku pada pria tua itu.

“Tentang apa yang ingin kalian tanyakan?”

“Kami ingin bertanya mengenai cerita awal mula kasus kesurupan di sekolah ini pak,” jawabku langsung to the point.

Pak Nurdin diam sejenak. “Jangan di sini, temui saya di rumah selepas magrib,” ucapnya.

“Siap pak!”

Kami pulang ke rumahku karena antara rumah Amar dan rumahku, rumahkulah yang paling dekat. Amar sudah sering datang ke rumah, kehadirannya sudah tidak dianggap tamu lagi.

“Darimana saja kalian kok baru pulang?” tanya ibu. “Ayo makan dulu.”

“Siap tante, boleh nambah nggak?” tanya Amar malu-maluin.

“Mar, kan kita belum mulai makan, masa udah mau nambah,” ujarku sewot.

“Persiapan, Yog. Laper ini. He he he.”

“Udah, kalian habiskan saja makanan yang ada di meja. Nanti malam masak lagi.” Ibu tersenyum lebar.

Amar lebih lebar lagi senyumannya. “Bungkus boleh te?”

------------

“Ini rumahnya, Mar? Yakin kamu?” tanyaku penasaran.

“Yoi, bener kok ini rumahnya. Sesuai petunjuk ibu warung belakang,” ucap Amar yakin.

Kami berada di depan rumah yang kata ibu warung adalah rumah pak Nurdin. Cuma aku tidak yakin, ini rumah seperti rumah tak berpenghuni. Pagarnya berkarat, rumputnya tinggi-tinggi. Lampunya sendiri redup, nyala mati. Seram.

“Pak Nurdin!” teriak Amar memanggil.

Pak Nurdin menyadari kehadiran kami, membuka pintu dan mempersilahkan kami berdua masuk dan duduk. Pak Nurdin pergi, sepertinya ia ke dapur. Aku menoleh kanan kiri mengamati rumah pak Nurdin. Banyak ornamen-ornamen patung yang rasanya sudah berusia sangat tua. Di dinding, terpajang lukisan wajah pria berbaju adat jawa, mungkin itu ayah atau kakeknya. Lukisan itu tampak hidup. Selain itu, rumah ini diterangi lampu kuning, menambah kesan angker. Kenapa nggak pakai lampu putih seperti rumah orang normal lain sih?

Lihat selengkapnya