Aku berlari menuju gerbang sekolah. Seperti biasa, hanya untuk melihat gadis idamanku. Hana, perlahan dengan cantiknya menaiki mobil putih. Wajah itulah yang dapat menyingkirkan kegelisahanku. Hatiku tenang. Aku diam berdiri melihat mobil putih itu pergi.
Akhir-akhir ini aku gelisah. Mimpi kala itu terasa sangat nyata. Aku kepikiran.
“Ayo pulang,” ujar Amar sambil menyodorkan tasku. Baik hati sekali dia mau membawakan tasku.
“Ane numpang makan di rumahmu ya,” kata Amar santai.
Sialan, ada maunya ternyata.
Kami berdua berjalan pulang ke rumahku. Di atas kasur, aku kembali merenung sambil main handphone. Amar duduk bersila di atas karpet, membuka tasnya dan mengeluarkan buku kumis nakal.
“Yog, gimana buku ini sudah seminggu nggak diisi?” tanya Amar.
“Yaah, nanti deh,” jawabku agak malas.
“Ente masih semangat jadi pacar Hana nggak?”
“Masih dong!” seruku.
“Ayo kita pecahkan misteri ini!”
“Ayo!!” Lalu aku kembali rebahan.
“Bajingan anak ini. Ayo hoi!” Amar emosi sepertinya.
Aku bergerak, duduk di samping kasur. “Mar, aku masih kepikiran tentang mimpi itu.”
“Kan sudah ane bilang, mimpi itu bunga tidur. Ngapain bingung.”
“Jangan-jangan itu teguran karena kita mendalami kasus ini Mar.”
“Nggaklah. Ente aja yang takut. Mimpi aja kok dipikirin.” Amar ngotot.
“Tapi ini beda Mar. Rasanya bukan kayak mimpi. Aku berpikir, jangan-jangan apa yang dikatakan Shena itu betul.”
“Apanya yang betul?”
“Kita tidak boleh tidur di sekolah.”
Amar terdiam sejenak. “Cewek sinting kok didengerin.”
Kemudian kami pun diam. Masing-masing sibuk sendiri. Aku sibuk dengan handphone-ku dan Amar sibuk main game.
“Nanti di sekolah, kutunjukkan hal menarik,” kata Amar yang fokus pada komputer, tanpa menoleh padaku.
--------------
Aku masih berpikir tentang mimpi itu, bunga tidur yang terasa sangat nyata. Aku berusaha mengingat kembali kejadiannya. Siapa sosok orang yang kulihat di mimpi itu. Dia mengenakan seragam yang sama denganku. Wajahnya tanpa ekspresi. Tapi aku tidak pernah melihatnya di sekolah ini. Tidak, tidak ada satu pun yang pernah kutemui di sini yang mirip dengannya. Lelaki berkulit coklat dengan tahi lalat di samping mata kirinya.
Aku tak mau lagi mimpi seperti itu. Tak mau lagi tidur di kelas. Tak akan.
“Hei, Yog. Sini ikut ane!” teriak Amar dari luar pintu kelas.
Aku menuruti ajakan teman sebangkuku itu. Walau sebenarnya agak malas, tapi yah sudahlah daripada mengantuk di kelas. Dia membawaku menuju ke kelas 1.4 dan menyuruhku untuk mengintip ke dalamnya.
“Lihat itu di pojokan paling belakang,” ucap Amar dengan menunjuk.
Hm?
Apa?