Jangan Tidur di Sekolah

abil kurdi
Chapter #8

Chapter #7 Aku dan Hana

“Hey Yog. Mau gini sampai kapan?” tanya Amar heran.

Aku seperti biasa, sedang melakukan ritualku selepas sekolah. Berdiri di dekat gerbang untuk melihat calon pasangan hidupku pulang dijemput mobil.

Amar menyenggol pundakku. “Hey, denger nggak?”

“Ha? Apaan Mar?”

“Ente mau kayak gini sampai kapan?” tanyanya kembali.

“Sampai gini kapan apanya, Mar?” Aku menjawab pertanyaan Amar tanpa menoleh, tetap melihat Hana yang masih menunggu jemputannya tiba.

“Ente sampai kapan ngeliat Hana dari jauh kayak gini. Ajak ngobrol dong!” seru Amar.

Aku menatap ke arah teman sebangkuku itu. Iya juga ya. Ini sudah berbulan-bulan tapi tidak ada progress kisah cintaku dengan Hana. Stagnant.

“Sana, temui dong.” Amar menghasutku.

Wah bukan apa-apa ya, cuma aku nggak berani. Aku bicara sama cewek, nggak masalah, tapi kalau sama cewek cantik aku langsung grogi. Ini kelemahanku sejak dulu yang membuatku masih aktif jomblo. Sama cewek cantik aku grogi, sama cewek nggak cantik aku nggak doyan. Dilema.

“Ah, gini saja aku sudah bahagia kok, Mar,” ucapku dengan pandangan manis menatap kejauhan. Hanya kalimat itu yang muncul di pikiranku yang bisa kupakai sebagai alasan. Aslinya, aku takut!

“Heh, belut listrik! Ente bilang mau ngawini dia. Gimana caranya cuman dilihat dari jauh. Gimana ente ntar bikin anaknya?” Amar geleng-geleng.

Bikin anak, dengan Hana. Otak puberku langsung adventuring. Tapi benar juga apa yang dikatakan Amar. Mungkin sudah saatnya aku memberanikan diri. Demi tumbuhnya cinta kami berdua dan demi Neil dan Ronaldo, calon anak kami.

Di dalam kamar aku berpikiran seharian. Melamun berbagai skenario yang bisa terjadi dengan dialog-dialog yang sudah kusiapkan. Dari kemungkinan terbaik yakni dia minta kawin langsung, sampai kemungkinan terburuk yakni dia seorang necrophilia, yang berarti aku harus jadi mayat dulu baru dia akan mencintaiku.

 “Hai nona, kulihat engkau gelisah. Apakah yang membuatmu demikian?” kataku dengan suara berat. Suara macho.

 “Aduuh, ini hujan, aku tidak bisa pulang. Padahal mobil jemputanku sudah menungguku di depan sana.” Aku menirukan suara cewek, berpura-pura sebagai Hana.

Ya, aku sedang berbicara sendiri di depan cermin. Seperti kata buku tulis yang bijaksana, practice makes perfect itulah yang sedang kulakukan saat ini. Latihan.

“Hup!” aku berimajinasi memotong daun pisang dari pohonnya hanya dengan sabetan tangan kekarku. “Ikutlah bersamaku, akan kuantar kamu.” Kami berjalan di bawah teduhan daun itu.

“Makasih ya. Siapa namamu wahai pria gagah?”

“Aku, Yoga. Tapi aku biasa dipanggil, sayang.”

“Makasih ya, sayang.”

Ahe he he he he.

Aku malu-malu sendiri. Lalu berhenti sejenak karena perasaanku tidak enak. Ternyata Gina dari tadi mengintip. Matanya lurus tajam melihat tingkahku.

“Mas, ini kamu sedang kesurupan?” tanyanya dengan muka lempeng.

No, ini falling in love,” kataku mantab.

“Buuu! Mas Yoga kesurupan bule!” teriak Gina.

Ibu berlari menuju kamarku. “My son! How many finger is this?” kata Ibu sambil menyodorkan satu jarinya.

Oh God, of course it’s one,” ucapku menanggapi ibu.

Papa datang. “Ada apa ribut-ribut?”

“Mas Yoga kesurupan hantu bule, pa. Tiap ditanya, jawabnya pake bahasa inggris,” jawab Gina.

“Astaga, harus cepat-cepat nih!” Papa lalu mengambil handphonenya dan menelepon seseorang.

“Nelpon siapa, pa?” tanya Ibu penasaran.

“Tempat les bahasa inggris. Mau daftarin Yoga tes TOEFL, mumpung ketempelan bule.”

----------------

Aku duduk makan mie pangsit bersama Amar. Kami masih belum menemukan sosok Leli yang dimaksud pak Nurdin. Buku kumis nakal masih belum terisi lagi.

“Karena Leli belum ketemu, gimana kalau kita cari informasi tentang cerita-cerita kesurupan lainnya, Yog? Daripada buntu.” Amar memberikan saran.

“Boleh juga sih. Tapi ke siapa?” tanyaku balik.

“Coba kita tanya ke Bu Teresia.”

“Bu Teres perpustakaan?”

Amar menaik naikkan alisnya pertanda dugaanku betul. Oke, aku setuju dengan saran Amar.

Tiba-tiba muncul seorang malaikat di meja seberangku. Hana! Ia duduk dengan temannya, menikmati makanan yang ia beli. Pipiku merah merona melihat wajah cantiknya. Meleleh hatiku menyadari jarak kami sedekat ini.

“Yog, itu Hana tuh.” Amar bisik-bisik ke telingaku.

“Sssst, iya tahu. Diem aja, nanti dia dengar!” balasku.

Lihat selengkapnya