Aku bengong, aku melamun, aku diam. Masih tersisa penyesalanku dari waktu itu.
“Ayo ke kantin,” ajak Amar.
“Titip aja Mar,” ucapku malas dan lemas.
“Hi hi hi, kenapa sih ente? Udah lupain aja. Ntar dicoba lagi kalau ada kesempatan.”
Aku menatap Amar tanpa semangat. “Aku nggak mau ketemu Hana.”
Ya, selama beberapa hari aku mengurung diri di kelas. Datang ke sekolah langsung ke kelas, istirahat di kelas, pulang langsung ke rumah. Aku menghindari bertemu Hana. Malu berat!
“Udah tenang aja. Dia nggak masuk hari ini, sepertinya ijin,” ujar Amar membujukku untuk ke kantin bersamanya.
Oke, baiklah. Kangen juga makan mie pangsit bu kantin. Seperti biasa Amar minta ditraktir. Pantas saja dia giat menyuruhku ikut bareng ke kantin.
Sewaktu kami sedang asyik makan, Shena datang menghampiri dan duduk di bangku yang sama dengan kami. Dengan membawa semangkuk bakso.
“Hey robot, kemana aja lama nggak kelihatan?” tanya Shena sok akrab.
Aku memandangnya dengan muka malas. Amar pun cuek.
“Aku bukan robot,” ucapku ketus.
“Tapi kemarin kamu persis robot.” Shena menirukan tingkahku waktu itu. Badannya dikakukan, suaranya pun begitu. “Ka ka kamu mi mi mirip su su suamiku.”
Aku menoleh, melihat Amar cekikikan sambil menelan mie pangsit.
“Itu kemarin aku gugup, bukan jadi robot!” seruku.
“Gugup? Ngapain?” tanya Shena.
“Pake tanya lagi. Aku gugup karena ngobrol sama cewek paling cantik di sekolah ini.”
“Gugup sama cewek? Kamu suka sama Hana?” Kembali, Shena menanyakan hal-hal tidak penting yang sudah jelas adanya.
“Ya iyalah,” ujarku dengan muka malas.
“Lho, jadi kamu bukan homo?” tanya Shena lagi.
“Wik kik kik kik kik!” Amar tidak tahan menahan tawanya.
Sialan!
“Ya bukan! Aku lelaki tulen!” seruku.
“Oooooh ....” Shena mengangguk-ngangguk. “Jadi kamu nggak homo, juga bukan robot?”
“Bukan,” jawabku kilat.
Shena mulai memakan baksonya. “Kamu makannya baut? Minumnya oli samping?”
“Aku bukan robot! Sudah jelas-jelas aku makan mie pangsittt!” Emosiku terpancing.
Amar semakin cekikikan.
“Tapi, aku panggil kamu robot ya?” ucap Shena dengan tersenyum, lebar sekali hingga bisa kulihat gigi gerahamnya. Sebenarnya lucu juga senyumnya, tapi ini anak bikin emosi terus.
“Yah, terserah.” Aku cuek.
“Hey, nomer handphonemu berapa?” tanya Shena sambil mengunyah bakso. Pipinya membulat seperti hamster. Cara makannya berantakan sekali, nggak ada anggun-anggunnya.
“Ngapain nanya-nanya ....” Aku memicingkan mataku.
“Yah, nanti suatu saat kan kamu butuh aku,”ujar Shena percaya diri.
Aku diam saja.
Dia mencubit lenganku. “Ayo, cepat berapa?” tanya Shena memaksa.
Aku kesakitan dan memberikan nomerku agar ia berhenti mencubit. Shena terlihat senang dan kembali menghabiskan baksonya.
“Hei, Shena. Kenapa sih ente suka bangunin orang tidur?” tanya Amar. Kurasa dia penasaran dengan tingkah gila Shena.