Jangan Tidur di Sekolah

abil kurdi
Chapter #10

Chapter #9 Jangan dekati Shena

“Mar, lihat ini. Leli dan Nurani pernah berada di kelas yang sama.” Aku menunjuk pada biodata murid yang ada di buku Teresia. Ya, kami memanggilnya buku Teresia. “Sepertinya Nurani Kartika adalah sahabat dari Leli yang dimaksud bu Teresia,” lanjutku.

“Jadi gimana ini selanjutnya Yog?” tanya Amar.

“Nurani meninggal ketika kelas 1 SMA menjelang kenaikan ke kelas 2, sedangkan Leli meninggal empat bulan setelahnya, di awal dia kelas 2 SMA. Kalau Leli ini meninggal dua tahun lalu, berarti yang seangkatan sama dia sudah lulus semua dong.”

“Iya juga.” Amar manggut-manggut.

“Buntu lagi nih kita.”

“Mau tanya ke guru?” Amar kembali memberi ide yang sudah jelas aku tidak setujui.

Aku menggeleng.

“Yah, berarti mungkin kita bisa mencari tahu tentang korban yang terakhir. Si Abil,” ujar Amar memberi saran.

“Terus mau tanya siapa?” tanyaku.

“Ya Hana ajalah. Dia kan teman baiknya.”

 “Gila. Nggak mau, ah. Aku masih nggak mau ketemu dia.” Aku menggelengkan kepala.

“Lha, gimana sih ente. Katanya mau jadi pacarnya, ketemu aja kok kagak mau.”

“Tar aja, aku belum siap,” jawabku mengelak.

“Ya sudah coba kita tanya ke anak kelas 2 lainnya tentang Abil.”

“Punya kenalan siapa anak kelas 2?” tanyaku cepat.

Amar mengingat-ingat. “Anak kelas 2 yang pernah ane ajak ngobrol itu ... Hana.” Amar cengengesan.

Sialan.

Aku menarik nafas panjang. Di saat seperti ini, aku menyesalkan kenapa aku kurang pergaulan, tidak punya banyak kawan. Susah untuk karirku sebagai detektif handal bila aku tidak punya banyak relasi.

Kami tutup dulu sementara buku kumis nakal dan Teresia. Bulan depan mau ujian semester, kami harus mempersiapkan diri.

--------------

“Hey, Obot! Ayo!” Tiba tiba Shena berteriak di depan pintu kelasku.

“Ayo kemana?” jawabku.

“Kantin, Mie pangsiiit!” Shena memperagakan tangannya seperti sedang makan.

“Ayo Mar,” ucapku minta ditemani.

Amar diam saja.

“Kutraktir deh.” Aku berkata dengan muka malas sebenarnya.

Amar sigap berdiri. “Ente maksa-maksa, terpaksa deh ane ikut. Tapi inget lho, Ane nggak minta ditraktirin, ente sendiri yang nawarin.”

Yah, akhir-akhir ini kami sering bertiga. Aku, Amar dan Shena.

Aku kasihan pada gadis itu. Dia tidak punya banyak teman, sama seperti aku. Jadi aku sering menerima ajakannya. Biar dia tidak merasa kesepian. Tapi sebenarnya di luar keanehannya itu, aku merasa kalau dia cukup asyik juga bila diajak mengobrol.

“Gimana ujianmu, Obot?” ujar Shena dengan mie pangsit di mulutnya.

“Yah, seperti biasalah ....” ucapku dengan senyuman.

“Nggak bisa, ya?”

“Iya.” Aku menunduk malu. Mau nangis rasanya.

“Makanya, Yog. Belajar dooong.” Amar bermuka sombong.

“Kamu juga nggak bisa ya, Mar?” tanya Shena.

“Sepuluh soal kosong, nggak sempet kujawab ... Hiks hiks hiks hiks.” Amar ikut menunduk, menangis sedih.

“Hey, senin kan fisika. Besok minggu kalian ke rumahku, nanti kuajarin,” ajak Shena.

Lihat selengkapnya