Jangan Tidur di Sekolah

abil kurdi
Chapter #14

Chapter #13 Cerita yang lama terpendam

Bel berdering. Istirahat usai. Amar frustasi, bagaimanapun dia mengguncangkan badanku, aku tak kunjung bangun.

“Sudah gila ente, Yog. Bangun hoi. Udah masuk jam pelajaran ini!” seru Amar. Ia melihat di pintu, seorang guru datang masuk. Amar panik. Ia berusaha membangunkanku lagi. “Hey, Yog ayo cepat ba ... lho?” Amar heran. Aku sudah tidak ada di sampingnya.

“Lho, kok kita ke sini lagi, Na?” aku bingung. Tadi aku dan Shena masuk ke gudang, keluarnya juga ke gudang. Aneh.

Shena berupaya membuka pintu, tapi tidak bisa. “Waduh, ada yang ngunci.” Cewek berambut pendek itu kemudian menaiki tumpukan-tumpukan peralatan olahraga usang dan memanjat ke atas plafon. “Ayo cepat, ngapain bengong.”

“Tunggu, dong,” protesku. Gimana Shena ini. Apa dia tidak ingat kalau aku terluka?

Aku melihat lukaku. Lho, hilang!?

“Ayooooo,” buru Shena. Ia melambaikan tangan mengajakku cepat naik.

Kami menaiki lubang plafon gudang dan turun di lubang luar gudang. Aku menyadari. Oh, ternyata ini penyebab adanya lubang di plafon dan jejak kaki yang ada di ruang itu. Shena adalah pelakunya.

Kami keluar gedung. Aku masih terheran-heran dengan badanku. Luka-lukaku hilang semua. Yang tersisa hanya noda darah di pakaian. Apa semua itu hanya khayalan?

“Hey Obot, sini! Cepat.” Shena mengajakku pergi ke warung belakang. Kami duduk membeli minuman.

Aku merasa seperti orang bodoh, dengan baju compang camping dan pakaian kotor. Shena di luar nalarku, mukanya biasa saja. Sepertinya ia sering seperti ini. Semua informasi yang aku punya tentang misteri keanehan Shena, seakan terjawab.

Mengapa Shena membangunkan orang yang tidur di sekolah.

Mengapa Shena sering membolos ke warung belakang.

Mengapa Shena pernah terlihat berpakaian yang memiliki noda darah.

Aku mendapatkan beberapa rasa penasaranku. Tapi masih ada pertanyaan-pertanyaan lain yang belum terjawab.

“Jangan dipikir, Bot. Sekarang santai dulu, tenangkan pikiran.” Seakan Shena dapat membaca wajahku yang penuh tanda tanya.

Aku mengangguk.

“Kirim pesan ke Amar. Nanti pulang sekolah, tolong segera bawakan tasmu dan tasku ke sini,” lanjut Shena.

Aku mengeluarkan handphone yang ada di saku celana. Nyala, handphoneku bisa menyala. Tadi kan mati tidak dapat dinyalakan. Kulakukan apa yang Shena minta. Amar menerima pesan tersebut.

Kami berdua duduk menunggu jam pulang sekolah. Hingga Amar datang membawakan tas kami. Lelaki itu tidak kami biarkan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Kami harus bergegas sebelum terlihat murid lain.

Bertiga kami pergi ke rumah Shena. Duduk di atas karpet merah muda di kamarnya.

“Jadi, apa ente-ente sudah mau cerita apa yang terjadi?” tanya Amar membuka percakapan.

“Aku kembali ke mimpi itu lagi, Mar,” jawabku.

“Waduh, gawat!” Amar seakan panik. “Mimpi yang mana ya?” lanjutnya.

Sialan.

“Haduh, mimpi yang kutulis di buku kumis nakal.” Aku tak percaya Amar lupa tentang mimpi yang dulu kuceritakan.

Lihat selengkapnya