“Ayo Shen, nanti kita telat. Yang lain nanti marah, lho.” Dina menarik lengan Shena.
“Iya sebentar.” Shena membereskan buku-bukunya. Dengan tergesa ia masukkan semua ke dalam tas. Biarlah tidak rapi, yang penting anggota seksi acara lainnya tidak protes dan ngambek seperti sebelumnya.
Shena dan Dina berlari keluar kelas. Mereka bergegas menuju kelas 2.3. Di sana Leli dan keempat anggota seksi acara lain sudah menunggu.
“Maaf terlambat datang,” ucap Shena dengan menunduk.
“Ya, ya ya. Akhirnya sang ketua datang juga,” celoteh Edo.
“Iya, maaf tadi ada tugas guru yang harus dicatat.”
“Ayo ketua, silahkan disampaikan hasil rapat kemarin.” Yusuf menyuruh mereka berdua duduk.
“Ngg ... jadi berdasarkan ... ngg ....” Suara Shena terbata-bata.
“Bukan kamu. Ayo ketua yang asli, cepat ngomong.” Edo menunjuk ke arah Dina.
“Hi hi hi hi.” Ketiga anggota lainnya, yakni Yusuf, Wahyu dan Henri menahan tawa mereka mendengar Edo blak-blakan. Memang bagi mereka berempat, Dina yang cocok menjadi ketua. Shena kurang tegas dan berani. Mereka menolak dipimpin oleh orang seperti itu.
Shena menunduk.
Dina merasa tidak enak pada Shena. Tapi ia harus segera berbicara agar rapat bisa cepat selesai. Dalam hal kepemimpinan memang Dina lebih unggul daripada Shena. Tapi sebaliknya dalam hal pelajaran.
Seusai rapat, Dina pulang terlebih dahulu karena harus memastikan sudah sejauh apa kesiapan pengisi acara.
“Nggak papa, kamu pulang dulu Shen. Besok kukabari perkembangannya.” Dina pamit.
Shena masih menunduk lesu. Ia ingin mundur saja dan meminta Dina untuk menggantinya. Dina tahu betul apa saja yang harus dilakukan. Ia mendekati Leli yang duduk sendiri, sibuk mencatat.
“Mbak Lel, saya mau bicara,” ungkap Shena.
“Apa?”
“Mbak, saya ingin mundur saja dari ketua seksi acara. Sebaiknya Dina yang menjadi ketua. Saya tidak bisa.”
Leli diam. Ia menyuruh Shena duduk di sebelahnya.
“Mau sampai kapan?” tanya Leli.
Shena bingung maksud dari pertanyaan Leli.
“Mau sampai kapan kamu tidak percaya sama dirimu sendiri?” lanjut Leli.
Shena kaget.
“Shena. Kamu adalah murid dengan nilai masuk tertinggi kedua. Kamu murid yang cerdas. Kamu bisa.” Leli memberikan sedikit pencerahan untuk Shena.
“Tapi aku nggak berani. Aku ....” Shena masih ciut nyalinya.
“Harus bisa. Harus belajar berani.”
“Belajar berani?”
“Berani itu juga butuh belajar. Sama seperti pelajaran, Shen. Agar bisa mengerjakan algoritma, kamu harus belajar penjumlahan dasar, 1 + 1 = 2. Agar bisa naik sepeda sambil standing, kamu mulai dari belajar jalan lurus dengan seimbang. Sama dengan keberanian, kalau kamu tidak belajar untuk lebih berani kapan kamu bisa jadi pemberani?” Leli memberinya nasihat yang ia dengar dari orang tuanya.
“Tapi, aku nggak bisa.”