Mati. Tidak ada yang dapat lolos dari kematian. Sekali lagi, tidak ada. Semua makhluk bernyawa pasti akan mati pada waktunya. Begitu pun Leli. Seorang kakak kelas luar biasa yang mampu menjadi sosok inspirasi baik bagi Shena. Kematian telah membawanya pergi. Hanya saja, ada yang janggal. Tidak mungkin seseorang seperti Leli bunuh diri begitu saja. Sesuatu pasti terjadi padanya. Adakah hubungan antara mimpi buruk yang dialami Shena dan kematian aneh ini?
Shena berdiri di dekat makam ketika Leli digendong masuk ke dalamnya. Digotong dan dikubur oleh sanak keluarga. Ibu Leli beberapa kali pingsan dalam pemakaman itu. Pandangan Shena semakin lama semakin buram, terhalangi air mata yang keluar begitu deras. Nafasnya sesenggukan. Di akhir pemakaman, Shena memeluk ibu Leli dan pamit untuk pulang.
Pikiran Shena kacau. Ia duduk memeluk lutut, memikirkan Leli. Memang belum lama mereka saling kenal, tapi Shena sudah menganggap Leli sebagai kakak. Sosok yang ia tidak miliki selama hidupnya.
Esoknya, berita kematian Leli sudah tersebar di sekolah. Tapi tidak ada yang berani dengan jelas membicarakannya. Karena takut kejadian yang sama akan menimpa mereka.
Shena duduk di bangkunya tanpa semangat. Apa yang terjadi pada Leli masih terngiang-ngiang di pikirannya. Ia melihat kejadian itu dengan matanya sendiri dengan jelas. Shena menoleh ke arah bangku Dina yang masih kosong. Timbul rasa khawatir pada Shena.
Seorang guru datang masuk ke kelas, membisikkan sesuatu ke bu Rukmini yang sedang mengajar. Dengan wajah ditekuk, bu Rukmini mengumumkan sebuah kabar buruk. “Berita duka, teman kita Dina Mariana dan Ravi Anandito meninggal dunia hari ini. Sejenak mari kita doakan mereka agar diterima amal ibadahnya. Berdoa mulai.”
DEG!
Jantung Shena serasa terhenti. Setelah Leli, kini Dina dan Ravi juga meninggal. Teman-temannya satu persatu pergi. Tubuh Shena lemas. Ambruk. Bu Rukmini segera membawanya ke UKS. Menidurkannya di atas bed dan memberi aroma minyak kayu putih di depan hidungnya. Cara sederhana yang biasanya digunakan untuk membuat seseorang tetap sadar, tidak pingsan. Shena menghabiskan jam sekolah di UKS, menenangkan diri.
Sepulang sekolah, Shena bergegas pergi ke rumah Rusli. Dia khawatir padanya. Kakinya berlari cepat, hingga tasnya punggungnya berguncang ke sana kemari. Ambulance berbunyi dari belakang, menyalipnya dengan cepat. Melihat ambulance tadi berhenti di depan rumah Rusli, Shena berhenti berlari.
“Kenapa ada ambulance? Siapa yang sakit?” tanya Shena pada seseorang yang berada di kerumunan di depan rumah Rusli.
“Anak pak Hamim, si Rusli. Meninggal dik. Gantung diri. Apa dia temanmu?”
Muka Shena memucat. Dia tidak menjawab pertanyaan orang itu dan langsung berlari memasuki halaman rumah Rusli.
Dari dalam rumah, beberapa tenaga kesehatan mendorong tandu ambulance keluar. Di atasnya terbaring Rusli dengan ditutupi kain putih. Shena memperhatikan teman sekelasnya itu dibawa masuk ke dalam ambulance. Diiringi orang tua Rusli yang bercucuran air mata. Shena terduduk lemas.
“Teman-temanku meninggal ....”
----------------
Sesuatu mengganjal di pikiran Shena. Ia semakin yakin bahwa mimpi buruk itu bukan sekedar mimpi biasa. Untuk menghilangkan rasa penasarannya, ia pergi ke gudang di gedung olahraga belakang.
Srak! Srak! Srak!
Shena menyibakkan peralatan-peralatan olahraga usang. Mendekati dinding yang ia yakini memiliki lorong ke dunia mimpi. Tangannya meraba-raba dinding itu. Melihat ada garis samar-samar dan tulisan jawa di atasnya. Hanya dinding. Tidak ada lorong. Seberapa pun Shena mencoba mencari lorong itu, didorong, dipukul-pukul, tidak ada lorong yang dapat ditemukan.
Shena tidak ingin memikirkan beban ini sendiri. Ia bergegas ke ruang guru, menemui bu Rukmini dan bercerita tentang apa yang dialaminya. Baru mulai bercerita, bu Rukmini memotongnya.
“Shena, kita tidak usah membahas ini ya. Ibu sudah cukup pusing menangani semua ini sebagai pengganti sementara pak Warisan.” Ibu Rukmini menghindar. Dari sorot matanya, dia seperti ketakutan. Begitu pula ketika ia hendak bercerita pada pak Doyok. Semuanya menghindari percakapan tentang insiden itu.
Dengan langkah terjuntai, Shena pergi ke lapangan. Ia ingin menenangkan diri, menyendiri di bawah pohon.
Seseorang mendatanginya.
“Ini semua karena Leli.”
Shena terkejut. Ia menoleh dan mengenali suara itu. Dedi, sang ketua OSPEK.
“Apanya mas?”