“Ini, buat kalian. Masing-masing satu. Setiap hari dibawa ya.” Shena menyodorkan segebok kunci kepada aku dan Amar. Kurasa ini adalah kunci sekolah. Ia menduplikatnya lagi untuk kami.
“Buat apa?” tanya Amar.
“Jaga-jaga, barangkali kalau Dalbo manggil dan kalian yang ketiduran,” jawab Shena santai.
“Kan ada ente yang bakal bangunin kita.” Amar agak protes. Kurasa ia malas membawa kunci segitu banyaknya di kantong setiap hari.
“Takutnya kalau seperti kejadian Obot kemarin. Kita terlambat membangunkan. Kan bisa repot nanti.” Shena mengingatkan.
Aku langsung menyaut kunci-kunci itu dari tangan Shena. Tidak mau kejadian seperti waktu itu terulang lagi. Cukup sekali.
Amar belum tahu kengerian di dunia itu. Dia belum mengalaminya. Tapi diambil juga kunci-kunci itu dari tangan Shena meskipun diiringi muka malas.
“Yah meskipun kita masing-masing membawanya, semoga jangan sampai digunakan,” kataku.
“Iya.” Hanya Shena yang menjawab, Amar cuma mengangguk.
“Jadi gini Mar, rencananya bila kamu masuk ke dunia sana. Kamu segera masuk kelas, menguncinya, lalu ....” Aku menjelaskan ke Amar apa yang harus dilakukan. Karena aku sudah tahu setelah menjalaninya bersama Shena.
------------
Dalam mengemban tugas kami, bila anak yang tertidur adalah anak yang biasa-biasa saja, kami bangunkan sendiri. Namun bila yang tertidur anak-anak nakal ....
Maka kami serahkan pada Shena.
“Na sini, di kelas 1.5. Kayaknya dia temannya Sastro.” Aku menelepon Shena setelah ia menyuruhku mencari anak yang tertidur karena merasakan Dalbo sedang mencari mangsa.
Shena buru-buru berlari masuk dan mengganggu anak itu. Lalu pergi begitu saja. Ini anak memang pemberani sekali. Bahkan pernah waktu pelajaran masih berlangsung, dia tanpa pikir panjang segera mengganggu anak yang sedang tidur di kelas lain. Ada yang dilempar penghapus dari luar kelas, ada yang dia langsung mengadu ke guru kalau ada muridnya yang tidur dan lain sebagainya. Guru-guru tahu tentang gelagat Shena tapi entahlah, mereka diam saja. Mungkin pikir mereka tingkahnya Shena aneh tapi kalau dilihat lagi, juga tidak salah. Tidur di waktu pelajaran berlangsung, bukankah itu salah di mata para guru.
“Ayo, Bot.”
Setelah membangunkan salah satu komplotannya Sastro, Shena mengajakku pergi ke kantin. Aku ikut di belakangnya. Kami berjalan bersama. Sepanjang perjalanan, tatapan-tatapan murid lainnya begitu tajam terhadap kami. Menganggap kami adalah orang aneh yang kurang kerjaan. Aku tahu tatapan itu, tapi baru kali ini merasakannya. Aku tahu, karena aku juga pernah seperti mereka, menatap aneh pada Shena.
“Udah, biarin aja. Nanti juga kamu biasa, Bot.” Shena tersenyum.
Aku ingin membalas senyumannya. Walau dengan senyuman palsu karena terpaksa. Tapi bibir ini terasa kaku. Aku belum terbiasa. Kalau diacuhkan orang aku sudah terbiasa, tapi kalau dimusuhi, aku masih belum terbiasa.