Hari minggu yang malas. Amar sibuk bermain game di komputerku. Sedangkan aku, sibuk membuka-buka buku kumis nakal. Ada yang kurasa mengganjal. Yang membuatku penasaran. Tentang dalang dari semua ini. Pak Warisan. Tidak banyak yang kuketahui tentang orang ini. Dan apakah betul dia dalangnya?
“Mar.”
“Apaan?” tanya Amar tapi wajahnya masih menatap komputer.
“Kita nggak bisa gini terus.”
“Apanya itu? Maen game?” tanyanya. “Ya, nantilah ane belajar. Ente kayak emak ane aja.” Lanjut Amar dengan muka malas.
“Bukan itu. Tapi urusan tidur di sekolah, Mar.”
Amar menoleh, menghadapku.
“Mau sampai kapan gini terus, Mar? Apa kamu mau nggak naik kelas kayak Shena demi sekolah?”
“Waduh, jangan sampe. Bisa disambit abi ane pake kurma ntar.” Amar geleng-geleng.
“Nah, makanya kita harus hentikan ini Mar. Kita hentikan langsung ke akarnya.” Aku menjelaskan dengan penuh semangat.
“Akarnya apa yang ente maksud?”
“Akar yang kumaksud adalah dalang di balik semua ini, Mar. Pak Warisan.”
Amar manggut-manggut seperti ayam mematuk cacing di tanah. “Jadi kita mulai darimana?”
Hening.
Aku juga nggak tahu. Informasi yang kumiliki belum cukup.
Tolelot tolelot! Handphoneku berdering. Shena menelepon.
“Bot! Cepet keluar, aku di depan,” ucap Shena santai.
Waduh, nggak ada angin nggak ada hujan, nggak ngabarin sebelumnya, ini anak main asal di depan rumah aja. Aku bergegas lari keluar rumah. Dan betulan, Shena ada di depan rumah. Dengan senyuman lebarnya dia berkata, “yuk, pergi nonton!”
-------------
“Shen, Shen. Ini beneran ente bayarin kan?” bisik Amar ragu.
“Iyaaa. Udah, santai aja.”
“Lagian nonton gini aja lima puluh ribu, mending ke warnet. Bonus 3gp,” celetuk Amar.
Shena meliriknya dengan sinis.
“Na, ini beneran sendalnya nggak dicopot? Karpet lho ini,” kataku takut-takut. Di taman aja rumput nggak boleh diinjak, ini bioskop lantainya karpet kok diinjak-injak.
“Sssst. Amar, jangan berisik. Obot, jangan kampungan. Dieeem.” Shen risih. Ia senyum-senyum sungkan sama penjual tiket. Malu dengan kelakuan kami. “He he he, tiketnya tiga orang ya mas.”
Shena memberikan kami masing-masing tiket masuk bioskop.
“Waaah, makasih lho.”
“Sama-sama.”
“Eh, Shen. Popcornnya dong sekalian.” Amar nyengir.
Shena menjewer telinga Amar dan menggeretnya ke tukang jualan popcorn. “Ayo cepet, pilih yang mana.”