Aku menatap ke luar jendela dari dalam bis. Sambil melamun, kuperhatikan pepohonan yang terlihat bergerak mendekat lalu menjauh. Kebiasaan penumpang karena kurang kerjaan.
Lalu aku kepikiran Hana. Wajah ayunya muncul di benakku. Sudah berapa lama aku tak melihat dia. Ada rasa rindu yang membuat jantungku serasa diremas lembut. Ah, seandainya saja dia ikut bersama kami, maka perjalanan ini akan terasa lebih menyenangkan.
Pluk ....
Kepala Shena bersandar di pundakku. Aku membuyarkan lamunanku dan menoleh ke arahnya. Tertidur pulas. Dengan mulut terbuka. Wah, jadi nggak tega untuk kubangunkan.
Di dalam bis ini, aku duduk bersama Shena. Sedangkan Amar terpaksa duduk bersama om-om berkumis lebat dengan jaket jeans sobek-sobek. Amar menoleh ke arahku, hendak menangis. Ternyata om-om kumis lebat itu numpang bubu di bahunya. Ingin ia jitak, tapi nggak berani.
“Yog, tolongin Yog.” Bisik Amar.
“Hi hi hi hi hi.” Aku tertawa kecil. Senang melihat Amar menderita.
Lalu kurasakan pundakku terasa dingin. Ya ampun! Shena ngiler di pundakku! Aku jijik tapi nggak tega membangunkannya. Yang bisa kulakukan hanya menutup mulutnya yang menganga.
“Hi hi hi hi hi.” Amar Tertawa kecil. Senang melihatku menderita.
Kami ribut sendiri.
Lalu om-om itu juga ngiler.
Menuju Banyuwangi membutuhkan waktu berjam-jam. Kami harus membetahkan diri duduk hingga tiba di terminal sana. Agar waktu berasa cepat, yah tidak ada salahnya untuk tidur sejenak.
“Mar, bangun Mar. Kita sudah sampai.” Aku menggoncang-goncangkan badan Amar. Ia dengan nikmatnya tidur bersandar di bahu om-om kumis lebat. Melihatnya sudah bangun, Aku dan Shena turun bis terlebih dahulu.
“Waah, maaf om. Nggak sengaja,” ujar Amar.
“Nggak apa-apa kok, dik,” kata om-om itu dengan santai. Tapi mukanya menyeramkan.
Amar segera berdiri hendak ikut kami keluar dari bis. Om-om berkumis memegang pundaknya. “Dik, punya pisau nggak?”
Amar kaget. Pisau buat apaan? Nusuk orang? “Nggak punya, om ....” Wajahnya ketakutan.
“Kalau nomer telpon punya dong,” Om-om itu kedip genit.
Hening.
Amar bergegas lari keluar bis.
“Kenapa, Mar?” tanyaku melihat gelagatnya.
“Ada kembarannya Dalbo.”
Sekeluarnya kami dari terminal, kami segera pergi ke hotel yang sudah dipesan sebelumnya. Dipesan dan dibayar oleh Shena. Bos kami.
“Fuaaaah!” Shena meloncat, merebahkan badannya ke atas kasur hotel. “Capek duduk seharian.”
“Heee, Na. Kamarmu di sebelah.” Aku sekedar mengingatkan saja.
“Iya, tauu.”