“Selamat pagi pak Warisan,” ucapku mendekat ke wajahnya.
Dia diam saja.
“Kami murid sekolah SMAN 88, pak. Ingin menjenguk.”
Masih diam.
Amar mengibas-ngibaskan tangan tepat di matanya. Berusaha mencari perhatian.
Tetap diam. Nafasnya sepotong sepotong. Wajahnya pucat.
Amar melirikku. Dia ikut mendekatkan mukanya pada pak Warisan. Sambil berbisik kami diskusi kecil. Persis di depan mukanya pak Warisan.
“Yog, sakit beneran kayaknya ini orang,” bisik Amar.
“Kayaknya sih gitu, Mar. Mukanya meyakinkan.”
“Terus, gimana caranya dia jadi dalang pembunuhan di sekolah kalau kayak gini kondisinya.” Amar bingung. “Apa mungkin dia jadi dalang dulu, terus kualat terus sakit?” lanjutnya.
Aku berpikir sebentar, lalu menoleh ke arah ibu Warisan. “Bu, bapak seperti ini mulai kapan?”
“Yah, semenjak pertama sakit dulu sudah langsung seperti ini,” terangnya.
“Kayaknya nggak deh Mar. Awal pak Warisan sakit itu sebelum pentas seni berlangsung. Padahal Shena bilang dia ketemu pak Warisan di dunia mimpi itu sewaktu pentas seni berlangsung. Dan di sana dia masih sehat.” Aku kembali bisik-bisik dengan Amar.
Dugaan kami meleset. Kami bingung, bagaimana pak Warisan yang sakit stroke, bisa muncul dengan sehat di dunia mimpi. Belum ada pemikiran yang bisa menghubungkan rangkaian kejadian dari informasi yang selama ini telah kami peroleh.
Nyuut! Shena mencubit lengan pak Warisan.
“Jangan pura-pura kamu, botak. Bangun nggak!?” bisik Shena geram.
Aku dan Amar shock! Itu istrinya masih di dekat pintu, mengawasi kita. Aku segera menangkap tangan Shena agar terlepas cubitannya. Dengan deg-degan aku dan Amar menoleh ke arah ibu Warisan. Untungnya, dia tidak sadar dengan apa yang dilakukan Shena barusan. Kami tersenyum canggung dan menganggukkan kepala.
“Yog, tolong kontrol itu kelakuan Shena,” bisik Amar.
Shena menampar-nampar pipi pak Warisan. “Hey! Hey! Sini berantem sama aku!”
Waaa! Shena semakin menggila. Aku berusaha menghalau Shena tapi dia tetap ngotot. Kami berisik sendiri. Amar kemudian pergi ke ibu Warisan untuk mengalihkan perhatian.
“Bu, ada makanan nggak ya? Ane lapar.” Amar mengusap-usap perutnya.
“Ada. Sebentar, ibu ambil dulu di dapur.” Mereka berdua pergi menuju dapur.
“Ane ikut ke dapur ya, bu.”
“Boleh, ayo.”
Amar dan bu Warisan pergi keluar kamar.
Bagus! Brilliant sekali engkau, Mar.
Shena semakin menggila. Pak Warisan dicubit, ditampol, ditonyor, disentil, ditampar, tapi masih diam saja. Yah, namanya juga orang sakit. Lalu tiba-tiba Shena membuka mulut, menyiapkan gigi-giginya. Gawat! Dia mau menggigit pak Warisan! Aku segera menahan mukanya. Kami bergulat sendiri. Kacau!
“Aduh duh duh duduuh!” Tanganku tergigit. Kukunci badan Shena dan menariknya keluar kamar. Dia seperti kucing yang mau dimandikan. Mengamuk dan terus melawan dengan gigi dan cakarnya.