Jangan Tidur di Sekolah

abil kurdi
Chapter #27

Chapter #26 Keluarga Abil

Sepanjang pelajaran sekolah, aku melamun. Tidak bisa berkonsentrasi. Aku memutar-mutar pulpen dengan jariku. Kebosanan.

“Yog, santai amat ente. Udah belum mengerjakan soalnya?” Amar menarik buku tugasku. Lelaki berhidung besar itu terkejut ketika tahu kalau belum ada soal yang kukerjakan sama sekali. “Buset, masih kosong tapi santai-santai aja. Gila ente.” Amar mengembalikan bukuku dengan emosi.

Aku melirik Amar. Tersenyum kecil. Sudah kubilang, aku sedang bosan. Tidak dalam mood untuk mengerjakan soal yang pastinya akan membebani pikiranku.

Satu-satunya yang ada di pikiranku saat ini adalah Hana. Setelah pertemuan di depan kamar mandi itu, aku kembali memikirkannya. Berbeda dengan yang dulu dikatakan Amar padaku, bahwasanya Hana adalah cewek matre dan tidak baik. Setelah pertemuan itu, aku merasa dia cukup baik. Dan, dengan tiba-tiba memberikanku obat mungkin menandakan bahwa dia tidak matre. Kurasa seperti itu. Ada yang mengganjal di pikiranku. Aku jadi penasaran.

“Mar, Mar. Handphonemu ada kuotanya, nggak?”

“Ada, kenapa?” tanya Amar balik.

“Mana? Pinjam bentar,” pintaku.

“Buat apaan?”

Pertanyaan Amar kujawab cukup dengan senyuman. Biar dia penasaran. Kemudian kugeledah tasnya dengan paksa.

“Jangan berisik. Udah gila ente,” gerutu Amar.

Akun media sosial Abil kubuka kembali. Aku menggali lebih dalam biodata yang tertera di sana. Jl. Bunga Lely no. 45. Kutemukan juga alamatnya. Ya, aku penasaran dengan detail kejadian yang menimpa sahabat Hana ini. Karena takut ketahuan Hana kalau aku mencari tahu tentang sahabatnya di sekolah, jadi kuputuskan untuk langsung saja ke rumah lelaki berkulit gelap itu.

“Mar, besok ada waktu nggak?”

“Mau ngapain?” tanyanya.

“Ke rumahnya Abil.”

“Abil sahabatnya Hana yang sudah meninggal itu?”

Aku mengangguk.

“Boleh deh.”

Bagus. Besok kami akan berangkat ke sana.

Pak guru tiba-tiba berdiri dan memegang buku absen. “Yak, tolong maju ke depan, pekerjaannya dituliskan di papan tulis. Soal nomer 1, Ibnu. Nomer 2, Marsha. Nomer 3, Yoga ....

Keringatku menetes. Aku menoleh ke Amar. Dia cekikikan.

Mati aku.

-------

“Yog, ayo berangkat. Ane sudah di depan,” ucap Amar melalui telepon.

“Oke!” Aku bergegas lari keluar rumah. Menemui Amar yang sedari tadi berdiri menunggu.

“Shena nggak diajak?” tanya Amar.

“Nggak usah. Ini urusan kita, para lelaki sejati saja,” jawabku mantab.

Kami berdua pergi menuju ke alamat yang kudapatkan di medsos Abil kemarin. Menaiki beberapa angkutan kota dan berjalan beberapa puluh meter memasuki gang.

Rumah sederhana tanpa pagar. Berhiaskan jemuran pakaian di depan rumah. Terkesan kumuh dengan tumpukan besi berkarat yang berkumpul di samping rumah itu.

Lihat selengkapnya