“Hai, Bot. Lagi apa kamu?” tanya Shena dari balik telepon dengan suara bersemangat, seperti biasa.
“Ini lagi sama Amar di kamar. Biasa, lagi ngerjakan hal yang lelaki banget.”
“Ngapain itu?”
“Amar main game, aku baca komik.”
Hening.
“Ya sudah, cepetan keluar. Aku di depan!” Shena menutup telepon.
Buset! Ini anak, lagi-lagi datang seenaknya. Tanpa diundang tanpa dijemput. Ngomong dulu kek sebelumnya kalau mau ke rumah.
“Mar, Shena di luar,” kataku pada Amar dengan wajah lempeng.
“Ngapain dia?”
“Entah.” Aku menaik-turunkan bahuku.
Kami berdua keluar rumah. Shena berdiri dengan tas ransel besar. Menyambut kami dengan senyuman gembiranya. Aku pernah melihat senyumnya seperti itu. Persis seperti saat dia sedang mengajak bermain kucing-kucing yang biasa lewat di kantin sekolah.
“Ayo ke pantai!” serunya.
Aku dan Amar saling berpandangan. Bingung. Ini anak spontan amat.
“Mendadak amat, Na. Nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba ngajakin ke pantai,” ujarku.
“Lah kalau ada angin, ada hujan, ya nggak mungkin ke pantailah,” sergahnya.
Hmm ....
Sial, benar juga dia.
Ya sudah, akhirnya kami berangkat juga. Toh, menghabiskan hari minggu di kamar saja terkadang terasa cukup membosankan.
Karena tidak ada di antara kami yang bisa mengemudi, akhirnya kami menggunakan jasa taksi online. Cukup menguras dompet dengan jarak yang jauh. Tapi tentunya kami tidak perlu memikirkannya. Yang mengajak yang membayar. Shena.
“Bot, belajar menyetir mobil dong. Biar enak kalau kita pergi-pergi.” Protes Shena setelah ia tahu biaya transportasi kami.
Aku melihatnya dengan tatapan; apa sih kok nyuruh-nyuruh.
“Iya nih, gimana sih ente.” Amar ikut protes.
Aku melihat Amar dengan tatapan; apa sih, kok ikutan aja.
Shena lalu berlari menjejaki pasir. Ia gembira ke sana kemari berlarian seperti anak kecil. Amar nengok sana nengok sini. Dengan mata yang fokus.
“Nyari apa, Mar,” tanyaku.
“Turis pakai bikini.”