Aku duduk berdiam diri di atas karpet ruang tamu keluarga Abil. Anak kedua yang rabun memegangi bajuku. Anak ketiga, yang paling kecil duduk di pangkuanku. Ya, aku ditinggal sendiri bersama anak-anak ibunya Abil karena dia dan Hana sedang berada di dapur.
Aku bingung bagaimana cara menangani anak kecil. Diajak bicara juga nggak nyambung. Ah, coba kupraktekkan sulap yang kupelajari sewaktu SMP. Sulap sederhana, yaitu koin yang menghilang.
“Lihat sini, dek. Om bisa sulap.”
Kuambil koin dari kantungku. Kupegang dengan tangan kiri. Lalu tangan kananku mengambil koin itu dan menggenggam. Ketika kubuka tangan kananku, boom! Koinnya hilang.
Aku melihat respon anak-anak kecil itu.
Anak yang kedua diam saja. Yah, anak rabun dikasih lihat sulap. Gimana bisa paham. Orang nggak bisa lihat. Nah, anak yang ketiga mulai tertawa. Wah, sulap yang dulu kupelajari, berhasil menyenangkan hati seorang anak kecil. Ada perasaan bahagia yang muncul.
Aku tersenyum.
Dia tertawa.
Dia masih tertawa.
Dia masih tertawa dengan nafas sepotong-sepotong.
Aku diam.
Sial! Jangan-jangan bengeknya kumat! Mati aku! Aku tidak tahu harus bagaimana, kuelus-elus dadanya berharap semoga bengeknya hilang.
Ibunya Abil datang membawa beberapa piring.
“Bu, ini si kecil kok begini nafasnya?” ucapku panik.
“Iya, nggak apa-apa kok. Nanti normal lagi,” jawabnya santai. “Ayo dimakan dulu. Maaf ya masakannya cuma ada ini.”
Aku mencium aroma masakan yang luar biasa menggugah. Mirip seperti masakan ibu di rumah. Dengan senang hati aku mengambil nasi dan lauk pauk. Hanya saja tidak sebanyak biasanya, yah tahu dirilah. Nggak enak kalau banyak-banyak.
Hana datang membawa sayur dan lauk lainnya. Tangannya cekatan menata hidangan-hidangan itu. Dia kemudian melayani ibu dan anak-anaknya. Mengambilkan mereka seporsi makanan.
Ibu itu mendekat padaku, dan berbisik, “ini semua yang masak mbak Hana, lho.” Setelah itu ia pergi menyuapi anak-anaknya.
Benarkah? Masakan ini dibuat oleh cewek cantik yang sekarang berada di hadapanku? Aku penasaran. Kusendokkan sesuap ke dalam mulutku. Dan, enak sekali! Luar biasa! Cantik, berkulit halus, pandai memasak pula. Oh, engkaulah calon istri yang kuidam-idamkan semenjak dahulu ....
Setelah meladeni ibu dan anak-anak keluarga Abil, Hana duduk di sampingku. “Gimana, enak nggak?” tanyanya.
Aku mengangguk kencang. Kencang sekali sampai hampir terbentur piring yang kupegang.
Kami makan berdua. Sambil menemani ibunya Abil menyuapi adik-adiknya.
Makanannya enak.
Suasananya enak.
Sesekali aku mencuri pandang.
Dia tidak keberatan.
Aku benar-benar menikmati waktu ini.
Setelah kenyang, adik-adik Abil mengantuk. Si ibu permisi sebentar untuk menidurkan mereka di dalam kamar.
Hana menoleh padaku. Ekspresinya berubah. “Ngapain kamu ke sini!?”
Deg! Mmmmm. Aku bingung mau bicara apa.
“Kamu nggak ngomong macam-macam kan sama ibu?” tanyanya lagi.
Aku geleng-geleng.
Hana menatapku curiga. Tatapannya begitu dalam seperti polisi yang menginterogasi pencuri. Seharusnya dengan tatapan seperti itu membuat aku ketakutan. Tapi yang ada aku jadi malu. Wajahnya terlalu cantik untuk membuatku takut. Pipiku memerah dan aku berusaha menghindari tatapannya.
Tolelot tolelot! Handphone Hana berbunyi. “Iya, halo?”
Wah, lega. Aku terselamatkan.
“Iya, mas. Ini nanti aku posting. Maaf ya terlambat, ada perlu soalnya. Iya, mohon maaf.” Trek! Hana menutup teleponnya. Wajahnya seperti kesulitan. Dia membongkar tasnya dan mengeluarkan beberapa sabun kecantikan.