Dalbo melirik kesana kemari. Matanya celingak celinguk mencari kami. Tapi ia tak berhasil menemukan siapapun. Kami sudah hilang dari pandangannya. Dalbo mengangkat tubuhnya dan menyusuri plafon.
Di bawah meja, aku dan Shena bersembunyi berdua. Kami dengan cepat tadi segera turun di kelas terdekat. Karena kami tahu, Dalbo bisa dengan sangat cepat mengejar bila kami masih berada di loteng. Turun di sebuah kelas dan bersembunyi adalah satu-satunya cara.
Srak!
Srak!
Srak!
Suara kaki menyeret terdengar jelas di loteng. Dalbo berkeliaran di sana mencari kami. Terkadang beberapa kayu penyangga terdengar patah karena menahan berat badannya.
Aku melihat ke arah pintu kelas. Gawat! Pintunya sedikit terbuka, dan dapat kulihat seorang zombie di depan sana.
Tanpa pikir panjang, aku segera berlari ke pintu kelas. Shena mencoba mencegahku tapi tidak kuhiraukan. Pun dia tak bisa bersuara. Bila mereka mendengar kami di sini, habislah riwayat kami.
Seperti ninja, aku bergerak dengan kaki berjinjit, cepat lalu bersembunyi di belakang pintu. Nafasku cepat, bukan karena lelah, tapi karena takut. Tanganku mulai mendorong pintu perlahan.
Cklek! Aku berhasil menguncinya.
Aku berjalan berjuntai ke arah Shena dan terduduk lemas. Kami berdua sadar dengan situasi yang ada.
Kami terjebak di sini.
Jalur aman kami hilang. Loteng dikuasai Dalbo, dan jalur biasa dikerumuni zombie.
“Gimana ini, Bot?” tanya Shena khawatir.
“Kita tunggu dulu di sini. Tunggu situasi memungkinkan.” Aku bicara seperti itu, tapi aku sendiri tidak tahu kapan situasi memungkinkan itu terjadi.
Di dunia nyata, Sastro yang tadinya bertingkah liar, tiba-tiba menjadi tenang. Teman-teman Sastro dan beberapa guru termasuk pak Gladi, yang sedari tadi berusaha menenangkan Sastro, mulai terdiam heran. Mereka bingung dengan perubahan tiba-tiba yang terjadi.
Sastro ambruk. Pingsan.
Mereka menggiringnya ke UKS. Hal itu menjadi perhatian setiap murid sekolah. Meskipun jam pelajaran sudah dimulai, tapi mereka tetap berdiri di luar kelas, memperhatikan kejadian itu.
Amar bengong saja sedari tadi. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Yang dia bisa lakukan hanya mengikuti mereka. Dia tidak bisa membantu apa-apa.
Sastro ditidurkan di bed UKS. Salah satu dari guru mencoba membangunkan Sastro dengan memberi bau-bauan minyak kayu putih pada hidungnya. Tapi tidak berhasil. Ia kemudian melonggarkan kerah pakaian Sastro dan mengusap minyak itu.
Pak Gladi membubarkan kerumunan. Dia menyuruh teman-teman Sastro dan murid-murid lain yang menonton di depan UKS untuk kembali ke kelas. Satu per satu mereka bubar. Tersisa cuma Amar yang masih bengong di sebelah bed. Dia terdiam bingung memikirkan aku dan Shena yang tak kunjung kembali, sampai-sampai tak mendengarkan perintah pak Gladi.
“Kamu teman dekatnya?” tanya pak Gladi.
“Eh, gimana, pak?” Amar baru tersadar dari lamunannya.
“Okelah, kalau kamu teman dekatnya, tidak apa-apa. Kamu jaga dia dulu sampai ada perkembangan, ya. Nanti tolong laporkan ke bapak.” Pak Gladi beranjak pergi.