Tok! Tok! Tok!
Seorang ibu membuka pintu.
“Sastro kondisinya bagaimana, bu? Kami teman sekolahnya,” ucap Shena membuka percakapan.
“Masih sama seperti kemarin, dik. Mari, silahkan masuk.” Ibu Sastro mempersilahkan kami.
Bertiga, kami duduk di ruang tamu. Ibu Sastro berusaha memanggil Sastro untuk pergi ke depan menemui kami, tapi tidak ada respon.
“Bu, nanti Sastro akan mencoba bunuh diri. Tolong dijaga ya,” ucap Shena tanpa basa-basi.
“Maksudnya gimana, dik?” Ibu itu kaget.
“Ini sudah pernah terjadi sebelumnya, ibu harus percaya.” Shena berusaha terus meyakinkan ibu Sastro. Tapi sayangnya beliau tidak mau percaya begitu saja. Dari pandangannya terhadap kami, aku yakin dia menganggap kami orang aneh.
“Terima kasih sudah perhatian dengan anak saya. Sepertinya sudah waktunya kalian pulang.” Ibu Sastro meminta kami pergi dengan sopan.
“Tolong ya, bu. Tolong percaya dengan apa yang saya katakan.” Shena setengah memaksa.
“Iya, nak iya. Ayo silahkan pulang,” ucap ibu Sastro dengan muka malas.
“Bu ....” Shena masih tetap berusaha.
Aku menepuk pundak Shena. Dia menoleh. “Na, sudah waktunya kita pulang.”
Shena seakan tidak rela karena dia bisa merasakan bahwa ibu Sastro tidak percaya padanya. Aku menggandeng tangannya, mengajaknya segera pergi. Percuma. Dengan sikap seperti itu, apa yang kami katakan, tidak akan dia dengarkan.
Untuk mendinginkan emosi Shena, aku mengajaknya ke kafe terdekat. Kurasa minuman dingin bisa meredupkan kekecewaannya terhadap sikap ibu Sastro tadi.
“Berapa lama waktu yang kita punya, Na?” tanyaku.
“Aku juga nggak tahu, Bot. Dulu, mbak Leli dan teman-temanku yang lain seminggu setelah kesurupan baru mereka bunuh diri. Tapi Abil, tiga hari setelahnya.”
Tidak ada kepastian dalam hal kapan mereka bunuh diri, jadi kita harus bergerak secepatnya.
“Ayo besok kita berangkat!” ajak Shena bersemangat.
“Wah, bolos dong kita?” Amar terlihat tidak setuju.
“Lho, ini berhubungan dengan nyawa teman kita.” Shena mencoba meyakinkan Amar.
“Ah, teman gimana, kenal juga kagak.”
“Gimana, sih kamu Mar!? Nggak peduli banget. Meskipun begitu, dia masih teman satu sekolah kita.” Shena agak emosi.
Aku menyodorkan minuman dingin berisi boba yang Shena pesan. Bibir Shena tidak melawan dan mulai meminumnya. Emosinya berkurang.
“Kita jangan bolos besok. Nanti saja akhir pekan. Jadi seenggaknya kalau bolos pun cuma sehari.” Aku menengahi.
“Tapi, Bot. Kalau keburu bunuh diri gimana?”
“Kita percayakan pada orang tua Sastro.”
Aku berhasil meyakinkan Shena. Sebenarnya aku tidak mau bolos besok karena sudah ada janji dengan Hana sepulang sekolah, untuk membantunya memotret produk yang meng-endorse dia. Yah, keadaan memang genting, tapi aku tidak bisa menolak permintaan Hana. Cinta bisa memanipulasi prioritas dalam hidupmu. He he he.
-----------
Ketua kelas datang menghampiri Aku dan Amar yang sedang sibuk mengerjakan tugas.