Jangan Tidur di Sekolah

abil kurdi
Chapter #33

Chapter #32 Ingatan Kematian

Amar mengucek kedua mata dan meregangkan lengannya. Kurasa dia lelah setelah melewati pelajaran kimia barusan. Kursinya terdorong ke belakang, Ia berdiri dari duduknya.

“Ayo makan ke kantin,” ajaknya. “Barangkali nanti ketemu Shena, kita bisa ngobrol tentang ke banyuwangi lusa.”

“Nggak deh, Mar. Aku nggak lapar.”

“Tumben ente. Ya sudah, ane ke kantin dulu.” Amar pergi begitu saja. Kurasa perutnya memang benar-benar lapar.

Seperti yang diduga, ada Shena di sana. Sudah terlebih dahulu menikmati mie pangsit.

“Mana Obot?” tanya Shena.

“Di kelas dia. Kagak lapar katanya.” Amar menaruh mangkuk mie pangsitnya di atas meja.

“Tumben ....”

“Nah, itu juga yang ane pikirin tadi.” Amar mulai makan.

“Lusa berangkat pagi ya, jam 5. Tiket sudah beres,” terang Shena.

“Mantab,” Amar mengacungkan jempol sambil menyeruput mienya.

Selesai makan, Shena membeli sebungkus nasi kotak. Ia berikan nasi itu pada Amar.

“Nih, kasihkan ke Obot ya.”

“Cuma Yoga aja yang dibelikan?” Amar terlihat iri.

“Mie pangsitmu sudah kubayari tadi. Aku duluan ke kelas ya.” Shena pamit.

“Beres, bos!” Senyuman Amar mengembang lebar.

Aku menyibukkan diri mengerjakan tugas di kelas. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh nasi kotak yang diletakkan Amar di atas bukuku.

“Nih, dari Shena.”

Aku meliriknya dan menyimpan nasi itu. “Makasih.”

“Lusa jadi berangkat pagi. Tiket sudah beres, diurusi Shena.”

Aku mengangguk.

“Ente kenapa sih kok lesu begitu.”

“Nggak apa-apa,” jawabku datar.

“Entah perasaan ane aja, tapi ente seperti menghindari Shena?” Amar mencurigaiku. Yah, setelah hari itu, aku belum bertemu dengan Shena lagi.

“Perasaanmu aja, Mar.” Aku bangkit dari duduk. Beranjak pergi.

“Kemana ente?”

“Kamar mandi.”

Tidak tahan lagi, kandung kemihku penuh. Harus kubuang dengan layak. Ketika hendak kembali ke kelas, aku sengaja melewati kelasnya Hana. Ingin melihatnya. Ada Ratih berdiri di depan pintu.

“Hai, Yoga,” sapa Ratih.

“Halo, mbak.”

“Hei, kamu kenapa nggak mau bantu foto lagi?” tanya Ratih dengan wajah kecewa.

Aku tersenyum saja, teringat apa yang kukatakan pada Hana waktu itu.

“A ... aku. Ng ... nggak bisa.”

“Jadi kamu tidak bisa meninggalkan Shena?”

Aku geleng-geleng. Meskipun dirundung cinta, tapi aku tidak bisa meninggalkan teman begitu saja.

Hana melihatku dengan alis tertekuk. “Yoga, Shena itu membawa sial. Aku nggak mau dekat dengan orang yang berteman dengan dia. Aku takut kena sial.”

Aku mungkin memahami apa yang ia rasakan, mengingat ia telah kehilangan sahabat baiknya. Tapi aku lebih tahu tentang hal ini. Sebenarnya ingin kujelaskan, tapi gagapku ini sangat mengganggu. Mungkin suatu saat akan kujelaskan perlahan biar dia mengerti.

Lihat selengkapnya