Aku dan Hana terjebak. Dua zombie dari arah berlawanan mendekati kami. Satu-satunya kelas yang paling dekat dengan kami terkunci. Kami tidak bisa masuk dan bersembunyi! Aku segera meraih duplikat kunci ruang sekolah yang ada di kantongku. Tidak ada? Astaga, aku meninggalkannya di dalam tas!
Aku berpikir cepat. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya mencoba menjatuhkan salah satu dari mereka dan menerobos lari. Tapi bila zombie-zombie lainnya datang, habislah kami.
Tidak ada jalan lain, aku bersiap menjatuhkan mereka. Aku menoleh ke Hana untuk mengajaknya bersiap lari.
Hah?
Tidak ada, kemana dia!?
“Gaaaah ....” Zombie itu semakin mendekat.
Sial. Ini berarti aku harus menjatuhkan mereka berdua agar bisa mencari Hana. Aku bersiap. Tanganku sudah kukepalkan. Aku sudah belajar bela diri dari game Tekken yang biasa kumainkan.
Mereka datang!
Sebuah tangan mencengkeram kuat lenganku. Aku tertarik ke belakang.
Brak! Cklek!
Aku terjatuh ke lantai. Masuk ke dalam kelas yang tadi terkunci.
Shena!?
“Kukira kamu tadi zombie juga, Bot,” ucap Shena.
Situasiku aman. Aku merebahkan badanku ke lantai. Mengatur nafasku yang tidak teratur. Aku teringat sesuatu. Seperti ada yang lupa.
Hana!?
Aku kembali duduk dan menengok ke sekitar dengan khawatir. Hana! Dia ada di sini. Syukurlah. Kurasa Shena juga menariknya masuk tadi. Aku menarik nafas panjang. Hatiku lega.
“Terima kasih, Na.” Aku meninju pelan pundak Shena.
Shena tersenyum sebentar. Ia melihat luka di pundakku. Wajahnya khawatir. Segera ia merobek kaos dalamnya dan membalut lukaku dengan itu.
“Ini semua karena kalian, kan!?” sentak hana. “Sudah kuduga kamu memang membawa nasib buruk!” Telunjuknya menuding pada Shena.
Shena diam. Dia malas membela diri.
Aku mendekati Hana. “Bila tidak ada kami, kamu pasti sudah mati dibunuh sahabatmu sendiri,” ujarku serius.
Mulut Hana tertutup rapat. Tidak ada argumen yang dapat dia sampaikan. Dia melangkah mundur menjauh.
Shena kembali menata meja. Seperti yang biasa kami lakukan. Dia mulai menaiki plafon.
“Ayo, Bot!” ajak Shena.
Aku menatap wajah Hana begitu dalam. “Ayo, ikut kami. Kita kembali pulang, pergi dari sini,” ujarku sambil mengulurkan tangan.
“Tapi ....”
“Akan kujelaskan bila kita sudah keluar dari sini.” Kutatap dia dengan serius.
Tak disangka Hana berbalas meraih tanganku itu. Kami bergantian naik ke atas plafon. Bertiga, kami menyusuri loteng menuju gudang belakang.
“Tunggu sebentar, aku akan melihat keadaan.” Aku turun perlahan. Melihat perempatan lorong sekolah. Sial! Ada seorang zombie di sana. Aku memberi sinyal pada Shena. “Ada satu, pelan-pelan turunnya.”
Shena mengangguk mengerti. Ia mengajak Hana untuk mulai turun. Mulai berlari dengan tidak bersuara. Shena membuka pintu gedung belakang.
Cieeet! Pintu itu berbunyi.
Shena dan Hana segera masuk.
Gawat, semoga zombie itu tidak mendengarnya. Aku berpaling kembali menoleh ke arah zombie itu.
Deg!
Jantungku hampir copot. Zombie itu ada di depanku persis! Aku kenal wajah itu!
Sastro!
Dia melotot menatapku dengan beringas. Alisnya menukik tajam, bibirnya melengkung ke atas. Dia marah!
Mati aku!