“Ayo cepat kita ke rumah Sastro!” seru Shena. Ia tidak sabar melihat apa yang terjadi.
Berempat kami memacu langkah menuju rumah Sastro. Ya, berempat. Bersama Hana. Entah kenapa sepertinya dia bergabung dengan geng kami sekarang. Geng pengacau sekolah.
Shena tanpa pikir panjang segera beraksi, hendak mengetuk pagar rumah Sastro. Aku menahan lengannya.
“Kenapa Bot?” Mata Shena melirikku heran.
“Sebentar Na. Aku takut kalau nanti kita kembali ke sana, ibunya Sastro akan mengadu lagi sama pak Gladi.”
“Ah, iya juga. Bener ente, Yog. Bisa diskorsing beneran kita.” Amar menyetujuiku.
“Lalu gimana dong, Bot?” tanya Shena tak tahu harus bagaimana.
Aku menoleh ke arah Hana.
Amar menoleh ke arah Hana.
Shena menoleh ke arah hana.
“Eh? Apa?” tanya Hana.
Tok! Tok! Tok!
“Permisi!” teriak hana.
Ibu Sastro keluar dari pintu rumah. Matanya basah. Ia seperti baru saja menangis.
“Sastronya ada, bu?” tanya Hana kembali.
Aku, Amar dan Shena mengamati dari jauh. Kami tidak bisa ikut menemani Hana. Skorsing adalah ancaman yang berat.
“Eh, Hana udah masuk tuh,”bisik Amar.
“Oke, kita tunggu di sini sampai Hana kembali. Jangan kemana-mana.”
“He em!” Shena dan Amar mengangguk.
Hening.
“Ane lapar nih, ada mie pangsit nggak ya di sekitar sini.” Amar beranjak mencari tukang mie.
“Iya, nih. Di sana barangkali ada. Yuk ....” ajak Shena.
Aku ditinggal sendirian. Sial! Padahal aku juga lapar, tapi aku tidak bisa meninggalkan Hana.
Hana duduk di ruang tamu. Ini pertama kalinya dia berkunjung ke rumah teman cowok selain rumah Abil.
“Sebentar ya, ibu panggilkan Sastro,” ucap Ibunya Sastro dengan mengelap air matanya.
“Ibu kenapa kok menangis?” tanya Hana.
“Nggak apa-apa. Ibu bahagia. Senang sekali hati ibu, Sastro sudah kembali sehat seperti biasanya.” Ibunya Sastro tersenyum lebar.
Aku menunggu sendirian di pojok gang. Seperti intel yang sedang mengintai buronannya. Fokusku hanya pada pergerakan yang ada di rumah itu. Lama sekali Hana tidak kunjung keluar dari sana.
Krucuuuuk!