“Aku berangkat, bu.”
“Jadi nginep di rumah temanmu, Amar?” tanya Ibu.
“Jadi.” Aku meraih tangan Ibu, dan salim.
Ibu tersenyum. Yah, selama ini aku belum pernah punya teman yang benar-benar dekat. Sekarang, di masa SMA, aku bisa berteman dekat dengan Amar dan Shena. Ada perubahan yang terjadi dalam hidupku. Kehidupan sosialku berkembang. Kurasa Ibu merasa senang mengenai hal ini. Maka dari itu, ketika aku meminta ijin menginap di rumah Amar, Ibu langsung setuju. Padahal aku berbohong. Hari ini kami kembali ke banyuwangi.
Alih-alih ke terminal seperti biasanya, Shena meminta aku dan Amar berkumpul di alun-alun. Entah apa yang dia pikirkan.
“Yog, lama amat ente,” ucap Amar yang barusan turun dari angkutan umum.
“Kamu kan baru datang.” Aku memicingkan mata malasku padanya.
“He he he he he.” Amar cengengesan.
Berdua, kami berdiri seperti orang linglung. Tanpa tujuan dan arah, hanya menunggu Shena.
“Mana Shena ya?” keluh Amar.
“Entah.” Aku mengangkat kedua bahuku.
Dari kejauhan, kulihat sebuah mobil putih dengan plat nomer S 3123 M berhenti di dekat kami. Itu kan mobilnya Hana?
“Hoi, Bot! Mar!” Shena melambaikan tangan dari dalam mobil itu.
Dengan penuh keheranan kami menghampirinya.
“Ayo berangkat!” seru Shena yang duduk di samping Hana.
Aku bengong.
Astaga. Impianku pergi bersama dengan Hana ke luar kota menjadi kenyataan. Aku sumringah. Senang tak terkira.
“Ayo, kamu ikut nggak?” tanya Hana.
“Iya, iya!” aku mengangguk keras sekali.
Hana meminta ijin orang tuanya untuk pergi ke luar kota, bersama dengan Shena. Alasannya adalah urusan pekerjaan, terkait dirinya yang adalah seorang selebgram.
Kami berangkat berempat, aku, Amar, Shena dan Hana. Oh, berlima dengan supirnya Hana. Tujuan perjalanan ini adalah Banyuwangi, tempat dimana pak Warisan tinggal. Harapan kami, setelah mengeluarkan zombienya dari dunia sana, pak Warisan bisa kembali pulih. Tentunya ingin meminta maaf secara langsung dan melihat kondisinya.
“Nah, gini dong kita punya seksi transportasi. Nggak kayak dua laki-laki nggak berguna di belakang. Udah nggak bisa nyetir, nggak punya duit,” protes Shena.
Aku dan Amar menunduk malu. Karena semua itu fakta.
“Udah, nggak apa-apa kok.” Hana mencoba menenangkan.
“Nanti aku sekamar dengan Hana, kalian sekamar dengan pak Robert ya,” kata Shena.