Gelap.
Berkabut.
Hening.
“Kyaaaaa!”
Seorang siswa diserang zombie. Lengannya digigit hingga terlepas dagingnya.
Bruak!
Shena menendang zombie itu hingga terjerembab.
“Ayo cepat ikuti Amar!” teriak Shena pada seluruh murid yang tiba-tiba terpanggil masuk ke dunia mimpi. Total mereka sekitar 20 orang.
“Ayo!” seru Amar sambil mengajak mereka semua keluar dari lapangan.
Beberapa zombie datang menghadang. salah seorang zombie menerkam Amar hingga terdorong jatuh. Ia panik. Dia ambil batu yang ada di dekatnya dan menghantam gigi zombie itu hingga rontok. Dengan rahang yang ompong, zombie itu tetap berusaha menggigit.
“Hm ... serasa dipijit.” Amar menikmati gigitan zombie ompong itu.
“Kyaaaaaa! Kyaaaa!” Murid-murid lain banyak yang diserang.
“Mar, ngapain kamu bengong! Cepat!!” Shena geregetan.
Situasi kacau! Teriakan dimana-mana. Beberapa murid terjatuh, tergigit zombie-zombie itu. Shena sibuk menolong mereka.
Amar segera bangkit. “Ayo ikuti aku!” teriak Amar.
Blemmmm!!!
Dalbo melompat di antara mereka.
---
Aku dan Hana mulai bergerak dari lorong menuju lapangan, tempat pentas seni diadakan. Baru keluar dari gedung belakang, seorang zombie menghadang kami.
“Abil!?” gumam Hana terkejut lirih.
“Ingat, dia bukan lagi Abil yang kau kenal.”
“Iya.”
Ada Hana di belakangku. Dia harus kulindungi. Aku tidak takut! Sama sekali tidak takut! Cuma pipis di celana sedikit.
Kukeluarkan parang dari dalam tas. Aku bersiap menerima serangannya.
“Tutup matamu,” perintahku pada Hana. Aku tak ingin dia melihat apa yang akan kulakukan pada sahabatnya.
Hana menutup mata dengan kedua tangannya.
Cras! Cras! Cras!
Zombie itu tak berdaya. Kutebas organ pergerakannya. Dia tergeletak di tanah. Kutarik lengan Hana, masih kusuruh dia menutup mata. Kami segera pergi melewatinya.
Samar-samar, di lorong kelas 1 dekat lapangan, aku melihat sesuatu bergerak-gerak mendobrak pintu sebuah kelas. Bruak! Bruak! Aku dan Hana perlahan mendekati. Sial! Itu Dalbo!
“Makhluk apa itu, Yog?” Hana gemetaran.
“Sssst .... Itu Dalbo.”
Ini pertama kalinya Hana melihat Dalbo. Tubuhnya tak henti gemetaran. Dia memeluk lenganku ketakutan.
Aku memberi kunci sekolah yang selalu kubawa pada Hana. “Kamu masuk ke dalam kelas dan kunci pintunya. Kalau ada apa-apa, kabur lewat loteng,” bisikku.
“Kamu mau kemana?”
Aku tak menjawab. Kukeluarkan benda yang ada di tasku. Tulang sapi yang kuruncingkan. Bila teoriku benar, Dalbo hanya bisa terluka oleh material yang berasal dari makhluk hidup. Gigi, kuku, gading, dan semoga tulang ini juga bisa. Kutinggalkan Hana dan menyuruhnya segera memasuki kelas.
Dengan berhati-hati aku mendekati makhluk mengerikan itu. Aku berjalan sambil menunduk. Perlahan berdiri di belakangnya. Punggung Dalbo terlihat begitu besar. Jantungku berdetak semakin keras. Tak bisa dipungkiri, aku takut. Kakiku tak bisa menapak dengan baik. Gemetar.