Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya dalam didikan yang gagal. Semua menginginkan kesuksesan, tapi terkadang orang tua salah dalam menilai ke arah mana anaknya mampu. Sebagian orang tua mengira di jaman sekarang ini lebih baik anak-anak di masukan ke Asrama. Di sana, mereka berpikir akan mendapatkan didikan yang lebih baik. Padahal kita semua tahu, pendidikan terbaik adalah dari kedua orang tuanya. Namun, jika orang tua tidak mampu barulah mencari tempat pendidikan terbaik. Pendidikan berkedok asrama, sudah banyak di jaman sekarang ini. Maka karena itu orang tua, haruslah waspada dan lebih hati-hati dalam memilih. Jangan sampai, apa yang dicita-citakan pada anak malah memutuskan mimpinya. Seperti Jihan, gadis yang baru saja beranjak remaja, kesehariannya lebih banyak membaca buku inspirasi yang membuatnya bisa jadi orang yang lebih berguna.
Hobinya dalam membaca buku inspirasi, jelas saja terlihat. Sekarang ia sedang menikmati bukunya itu. Jihan sangat fokus dan menyimak sekali, sampai ibunya panggil ia tidak dengar. Nur adalah ibu kandung Jihan yang melahirkannya dengan deraian air mata, karena sang ayah meninggal dunia akibat kecelakaan kereta, saat Jihan lahir. Nur mendekati pintu kamar Jihan, ia membuka pelan-pelan dan mampu membuat Jihan terkejut menoleh, “Buk,” ucapnya.
Nur mendekati Jihan yang baru saja menutup buku yang dibacanya, ia mengelus lembut rambut Jihan yang terurai panjang. Walaupun kesehariannya berhijab, tetap saja Jihan pandai menjaga kelembapan rambutnya agar tetap terjaga. “Kamu fokus sekali membaca bukunya, sampai Ibu panggil berkali-kali tidak dengar,” ucap Nur pada anaknya.
“Ibu, panggil Jihan?” tanya lagi Jihan kurang yakin. Nur mengangguk, “iya, dari tadi ibu panggil, kamu baca buku apa sih?” tanya Nur sambil melihat tulisan agak besar di atas sana, “Sukses Dari Mana Saja,” sebut Nur. Ia menyunggingkan senyum pada Jihan. “Ibu senang, kamu mau baca buku seperti ini, di jaman sekarang ini, kita harus pandai mencari jalan menuju kesuksesan, apalagi kalau kamu sukses dari sekolah yang di asrama, kan, pasti bisa lebih fokus belajar di sana, enggak akan ada yang mengganggu aktivitas kamu, jadi lebih fokus belajarnya.” Nur mengatakan kalimat yang membuat wajah Jihan kembali murung, Jihan sangat tidak tertarik untuk masuk ke asrama, dia merasa jiwanya ada di luar bukan di tempat tertutup seperti itu.
“Buk, sukses itu enggak harus dari asrama, Jihan bisa kok, sukses dari rumah, sekolah biasa, enggak harus asrama, Buk,” kata Jihan dengan bicaranya yang menggerakkan postur tubuhnya. Ia tidak tahu harus meluapkan emosi pemaksaan orang tuanya ini bagaimana. Nur begitu sabar, ia terus meyakinkan putri satu-satunya itu agar mau di asramakan.
“Ibu tahu, tapi ada tujuan lain Ibu, kenapa kamu harus masuk asrama,”
“Tujuan lain? Apa itu, Buk?” tanya Jihan mengernyitkan dahinya.
“Di asrama itu ada tambahan ilmu agamanya, Ibu mau kamu bisa menjadi anak yang juga taat beragama,”
“Tapi, Jihan enggak suka, Buk,” bantah Jihan lagi.
Nur masih sabar, kini ia mengelus lembut lengan putrinya dan di peluk dengan penuh kasih sayangnya. Nur tepat berdiri di belakang Jihan yang dibatasi kursi kayu yang sudah dipelitur.
“Jihan, suatu saat, kamu akan tahu, apa tujuan Ibu meminta kamu untuk masuk ke sana,” ucap Nur dalam hatinya.
“Buk, Jihan mau sama Ibu terus. Jihan takut, Buk, di asrama itu pasti enggak enak, Buk.” Jihan masih saja merayu ibunya agar mau mendengarkan kata-katanya, “Ibu, kenapa sih, enggak pernah mau dengar Jihan, yang menjalankan semua, kan, Jihan,” sambungnya masih mencari pembelaan diri. Jihan mulai tidak sanggup menahan emosi dari ucapannya yang tidak ada jawaban, ia mulai meneteskan air mata mengenai telapak tangan ibunya. Nur cepat peka dengan air mata yang jatuh itu, ia cepat menyeka air mata yang masih mengalir di pipi Jihan.
“Jihan, jangan menangis, ibu jadi sedih,” kata Nur tulus.
“Lagian ucapan Jihan enggak ada yang mau dengar,” bantah Jihan dengan suara agak parau.
“Iya, ibu, dengar.” Nur memastikan air mata Jihan tidak keluar lagi, “karena besok kamu harus berangkat ke sana, jadi kamu coba dulu, jika tidak bertahan ibu janji, ibu akan membiarkan kamu memilih sekolah di luar yang kamu mau.” Perkataan Nur membuat Jihan menoleh, senyuman tipis diberikannya dari sana, “janji, Buk,” pinta Jihan. Nur mengangguk sambil menyunggingkan senyum tulusnya. “Iya, ibu janji, nah, sekarang bereskan dulu apa yang harus dibawa besok, ya,” pinta Nur pada Jihan. Jihan tentu mengangguk masih dengan senyum yang sama, ia langsung mengeringkan air matanya yang membasahi lingkaran matanya itu. Setelah itu Jihan meninggalkan buku inspirasinya dan ia mulai mengemaskan segala keperluan yang merasa penting di bawa ikut bersamanya ke asrama besok. Nur ikut membantu Jihan. Mereka terlihat sangat kompak, hubungan romantis ibu dan anak ini membuat siapa saja yang melihatnya menjadi iri. Sesekali Nur mencium kening putrinya dengan begitu tulus. Nur memang sangat menyayangi anak semata wayangnya itu.
Setelah semuanya beres, Jihan memakai luaran rajut panjang yang diambil dari sangkutan pakaian, tidak lupa ia memakai jilbab, lalu keluar kamar dan melanjutkan tugas selanjutnya. Ia kerap membantu pekerjaan Nur. Mencuci piring, menyapu rumah dan menyiram tanaman. Jihan sadar keluarganya tidak sanggup membayar pembantu untuk menyelesaikan tugas-tugas itu, sebab itu ia dengan senang hati melakukan pekerjaan di rumahnya. Jihan berjalan ke arah dapur. Nur mengikuti langkah putrinya itu, ia juga akan membuatkan kopi untuk suaminya.
“Hati-hati, licin!” peringatkan oleh Nur saat melihat Jihan masuk ke kamar mandi dengan timba sedang di tangannya. Timba itu baru saja di ambil Jihan di pinggir pintu kamar mandi.
“Iya, Buk!” balas Jihan.
Nur melanjutkan membuat kopi. Jihan tengah mengisi timba dengan air dari bak mandi. Setelah selesai ia keluar sambil mengangkat timba dengan kekuatannya. Terlihat pula Yuda tengah sibuk memperbaiki kandang ayam miliknya, kesehariannya memang sebagai tukang kayu. Yuda adalah bapak sambung Jihan. Walaupun demikian, dia sangat menyayangi Jihan seperti anaknya sendiri. Namun, Jihan masih saja merasa segan pada Yuda. Ia hanya bicara saat di tanyakan saja oleh Yuda. Seperti yang dilakukan Jihan sekarang, saat ia membawa timba untuk menyiram tanaman di sore ini. Yuda melihat langkah kaki Jihan, ia cepat menyapa anak sambungnya itu.
“Hati-hati!” ucapnya ketika melihat Jihan membawa timba dengan lemas.
“Iya, Pak,” balasnya singkat.
Yuda kembali melanjutkan memotong kayu untuk menambah kandang yang hampir selesai itu. Sesekali ia melihat Jihan yang sedang menyirami tanaman dengan gerakan yang sangat lembut. Tiba saja Nur keluar dari dalam rumah. Yuda malah menyapa istrinya itu.
“Jihan kenapa, Buk?” tanya Yuda penasaran dengan ekspresi wajah Jihan yang lesu.
Nur membawakan kopi untuk Yuda dan meletakkan di meja teras, “Kenapa, apanya, Pak?” tanya Nur balik.
“Itu, seperti tidak bersemangat,” jawab Yuda sambil menatap Jihan dan sesekali ke kayu yang di potong.
Nur kini sudah duduk di kursi teras, “Minum dulu, Pak!” seru Nur meminta pada Yuda. Yuda menghentikan pekerjaannya setelah kayu berhasil terpotong. Ia mendekati istrinya dan duduk di kursi sebelahnya lagi. Yuda segera menyeruput kopi hangat buatan istrinya itu.
“Buk, Ibu, belum jawab, loh, pertanyaan Bapak,” kata Yuda mengingatkan Nur.
“Itu, Pak, biasalah masalah asrama,” jawab Nur.
Yuda menyeruput lagi kopinya, sambil memegang cangkir ia masih mengajak Nur bicara, “Kalau memang Jihan enggak mau, ya, tidak usah di paksa, Buk,” tegas Yuda.
“Kan, sudah terdaftar, Pak,” jawab Nur dengan nada tekanan di ujung.
“Kan, bisa dibatalkan,” kata Yuda lagi.
“Bisa rugi kita, Pak,” balas Nur lagi yang terlihat lebih peduli dengan kerugian. Yuda tidak tahu harus mengatakan apalagi, ada saja jawaban yang keluar dari mulut Nur.
Ternyata, Jihan mendengar perbincangan orang tuanya, “Ibu ternyata tidak pernah berubah, masih saja sama kayak dulu, egois,” ucap Jihan dalam hatinya, selanjutnya ia menggelengkan kepalanya karena tidak habis pikir dengan keegoisan ibunya sendiri, sambil menyirami tanaman yang terakhir. Air dalam timba itu juga ikut habis, rasanya sesuai target. Jihan pasti sudah menerka-nerka, berapa air yang diperlukan untuk tanaman di pekarangan rumahnya itu. Setelah semuanya tersiram dengan merata, Jihan kembali masuk ke dalam rumah. Yuda menghentikan langkah putrinya itu, tepat sebelum melewati mereka yang tengah duduk.
“Jihan, kamu jangan murung seperti itu, enggak baik. Kalau orang-orang lihat nanti, mereka pikir apa yang sudah Bapak dan Ibu lakukan ke kamu,” ucap Yuda.
“Jihan enggak murung, kok, Pak,” balas Jihan.
“Tapi, kamu kayak lemes banget begitu, memangnya apa yang kamu pikirkan,”