Usai mengantarkan Jihan. Nur dan Yuda beranjak pulang, sudah peraturan asrama untuk mengantarkan hanya sampai batas ruang tunggu saja. Jihan kini berdiri di bawah langit biru di atas tanah dengan dihiasi batu kerikil dan dilingkari batang bunga jarum yang sangat lebat daunnya ini. Jihan melangkahkan kakinya dengan perlahan, sambil menarik kover tas berwarna putih berukuran besar tersebut.
“Bismillahirrahmanirrahim, Assalamualaikum” ucap Jihan saat sampai melangkah masuk ke dalam asramanya.
Asrama yang terlihat seperti bangunan Amerika kuno ini, membuat penghuni nyaman, tapi terkesan mistis. Jihan melihat seorang perempuan satu orang dari sana mendekatinya.
“Assalammualaikum. Silakan!” sambutnya, “Ada yang bisa saya bantu? Ah, perkenalkan saya Almira. Penjaga di asrama wanita ini. Akrabnya panggil saja saya Uti. Apabila kamu butuh sesuatu silakan sampaikan kepada saya, jika terjadi sesuatu juga sampaikan kepada saya.” Almira terlihat ramah, senyum manisnya dan lesung pipi di kirinya menjadikan dirinya terlihat semakin ramah.
Jihan ikut memperkenalkan dirinya pada Almira, “Waalaikumsakam. Saya Jihan, baru di sini, jika boleh saya ingin sekali di perkenalkan dengan asrama ini,” ucap Jihan.
Almira menyunggingkan senyumnya, “Boleh sekali, kebetulan itu merupakan tugas saya, mari saya antarkan terlebih dahulu ke kamar kamu.” Almira mempersilahkan Jihan dengan gerakan tangannya yang sopan.
Jihan pun mengikuti langkah kaki Almira, satu per satu kamar ia lewati mulai tingkat satu sampai pada akhirnya tingkat tiga. Awalnya Jihan tidak percaya jika dia akan di tempatkan di sini, kamar paling ujung.
“Ini kamar kamu, masing-masing kamar hanya di tempati dua orang saja.”
Jihan melihat kasur satu lagi, sudah ada yang mengisi. Itu artinya, ia tidak sendiri di sini. “Terima kasih, Uti.” Jihan mengucapkannya pada Almira yang membalasnya dengan senyum.
“Kamu letakkan dulu tas kamu di tempat aman, lebih baik masukkan dalam lemari. Karena, lemari adalah tempat paling nyaman di asrama untuk barang-barang.”
Almira membuka lemari dan mencoba kuncinya apakah bermasalah. Nyatanya tidak ada masalah dengan kunci lemari aluminium tersebut. Masih sangat bagus dan tidak berkarat pula. Dalam lemari ini tidak muat koper, terpaksa Jihan harus melipat pakaian satu persatu untuk di susun di sana. Namun, hal itu tidak dilakukannya sekarang. Tidak mungkin jika dia membuat Almira menunggu. Almira mengarah ke kasur, ia mengibaskan tempat tidur dengan selimut milik asrama. Jihan melihatnya saja dan ikut menyimak apa yang disampaikan Almira.
“Nah, ini selimut dan seprei dari asrama, akan di cuci oleh petugas nantinya yang akan mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Tidak boleh menggunakan seprei lain, karena di sini semuanya sama.”
Jihan mangut, awalnya dia agak bingung dengan perkataan Almira. Kenapa ketukan itu harus tiga kali. Karena penasaran, ia bertanya pada Almira.
“Maaf Uti, apa ketukan itu harus tiga kali?” tanya Jihan.
Almira menoleh dengan tersenyum, “Iya, ketukan harus tiga kali dan dia akan mengatakan, cucian, begitu.” Almira memperagakan gerakan saat petugas datang.
“Bagaimana jika yang ketuknya hanya dua kali?”
“Jangan di buka, karena, di sini ada kode tersendiri, jangan salah menggunakan kode dan harus diingat kode-kode yang saya katakan.”
Almira menjelaskan dengan lebih detail. Jihan sepertinya paham dan dia mangut-mangut saja. Setelah selesai membereskan kasur oleh Almira di bantu Jihan. Almira lanjut mengatakan soal kebersihan kamar.
“Di kamar tidak boleh menjemur seperti pakaian dalam, atau hal yang dianggap kecil. Apalagi jika sampai di sangkutkan di jendela dengan hanger, tidak boleh. Karena, itu sangat mengganggu pemandangan dan mencerminkan pribadi yang kotor. Urusan kebersihan lantai kamar harus di sapu oleh pemilik kamar.” Almira keluar dari kamar menunjukkan ke luar dekat pintu.
“Di sini ada tong sampah,” tunjuk Almira tong sampah di depan masing-masing pintu, “Masukkan sampah dari dalam keluar dan petugas akan membersihkan seluruh asrama ini kecuali kamar kalian masing-masing,” jelasnya.
“Baik Uti.” Jihan menjawab singkat.
“Ayo saya tunjukan yang lainnya. Oh, ya, jangan lupa setiap keluar pintu di kunci dan kuncinya di bawa. Karena setiap penghuni akan ada kunci masing-masing. Jadi, jangan takut temannya marah.”
Jihan mendengarkan arahan dari Almira. Ia mengunci pintu tersebut agak susah, akan tetapi ia berusaha hingga menemukan cara mudah menguncinya. Almira melangkah ke ujung sana, terlihat tali jemuran penuh terikat antara ujung dinding yang di tempelkan paku ke ujung dinding lainnya sejajar.
“Nah, ini tempat menjemur pakaian, sangat luas jadi tidak ada alasan tidak muat menjemur. Terlebih akan ada jemuran per lantai. Bagaimana jika tidak muat?” Almira menunjukkan ke bagian bawah yang terlihat dari atas sini. Bagian jemuran ini hanya tersekat setengah saja dari lantai.
“Di sana, ada jemuran yang biasa di gunakan anak lantai bawah dan saya juga Uti Wardah teman sekamar saya. Jika terlihat kosong kamu bisa menjemur di sana,”
Jihan mangut saja. Lagi pula apa yang harus ia katakan, tidak ada yang perlu dikatakan kecuali mangut saja. Bagaimana jika dia menanyakan Soal Uti Wardah. Iya, dia akan menanyakannya.
“Uti Wardah kenapa tidak terlihat?” Tanya Jihan.
“Ada, tapi jika di pagi hari beliau di sibukkan dengan kuliah Pascasarjananya.”
“Oh, saya pikir Uti di sini, tidak sekolah lagi,” balas Jihan.
“Kita akan melanjutkan sekolah, jika pihak asrama mengizinkan dan di biayai. Makanya kamu harus benar-benar di asrama ini, agar kamu bisa sukses.”
Mereka berbincang sambil berjalan kembali ke kamar Jihan.
“Tapi, Uti untuk sukses dari sana pasti banyak tantangannya,” ucap Jihan lagi.
“Memang betul, asalkan kita punya niat dan hati yang bersih, semua akan lebih mudah di jalani. Oh iya, yang paling penting tinggal di asrama itu enggak boleh takut, ya,” sambung Almira.
“Iya Uti,” balas Jihan tersenyum.