Jangan Tinggal Sendiri di Asrama

Firyal Fitriani
Chapter #3

Pengalaman Pertama

Jihan dan Dini berjalan bersama ke arah kelas yang terletak sekitar 20 meter dari asramanya. Agak jauh karena terpisahkan dengan lapangan yang biasa digunakan untuk olahraga dan kegiatan outdoor di sana. Langkah kaki yang sangat banyak pahala ini, menuntun hingga sampai pada tujuannya. Jika kita menuntun ilmu dengan berjalan kaki maka pahalanya lebih besar. Semakin jauh kita berjalan, semakin besar pula pahala yang kita dapatkan. Jihan terlihat masih lugu dan kaku saat bergandengan dengan Dini. Mereka tidak berbicara dan lebih memilih diam satu sama lain, hingga sampai di kelas.

Suasana kelas belum ada orang, hanya mereka berdua. Karena, langit masih cerah. Tidak ada rasa takut di antara keduanya. Namun, suasana dingin menyapa mereka, membuat Jihan yang tidak terbiasa itu takut. Saat ia menoleh keluar jendela, ia bertanya pada Dini.

“Dini?”

Dini pun menoleh ke arah Jihan. Yang tadinya ia ingin mengeluarkan buku malah tidak jadi, “Iya, kenapa?” jawab Dini.

“Itu seperti ada gundukan makam, memangnya itu makam?” tanya Jihan berharap itu bukanlah makam. Ia cepat membuang pandangannya kembali.

“Oh, itu, iya makam.”

Jihan melotot, “serius?”, “iya,” balas Dini. Jihan cepat pindah tempat duduk ke sisi lain. Yang tidak dekat dengan jendela bagian belakang itu. Dini menyadari ketakutan teman sekamarnya itu. Ia masih di tempat duduk yang sama, tidak ikut Jihan yang berpindah tempat.

“Kamu takut?”, “itu, makam, bagaimana aku tidak takut,” jawabnya.

“Kamu enggak takut?” tanya Jihan balik pada Dini.

“Aku lebih suka duduk dekat jendela. Awalnya pernah takut, tapi setelah lama di sini, semua biasa saja, sih,” balasnya.

Sesaat kemudian teman yang lainnya datang satu per satu mengisi tempat duduk yang kosong. Sebagian mereka tidak mengenal Jihan, mereka berkenalan hingga akhirnya Jihan merasakan rasa tidak kesendirian. Jihan sangat senang bisa bertemu teman sebanyak ini. Tadi, ia tidak melihat kumpulan wanita ini. Sehingga proses taaruf saling terjadi. Dini hanya membalas senyuman dan senang saat yang lainnya menyapa Jihan.

***

“Dini, kenapa tadi aku tidak melihat mereka? Aku itu tadi, kaget banget. Aku pikir enggak akan ketemu teman seramah mereka.”

“Mereka ada kegiatan halakah di Mushalla inti. Hari ini aku tidak ikut, di karena kan ada hal yang lebih penting yang harus aku lakukan.”

“Hal apa?” 

Dini melihat ke arah Jihan, ia menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Ah, bukan apa-apa, hanya ingin menyambut teman baru saja,” kata Dini bercanda.

“Ih, kamu bisa saja. Oh iya, sekarang kegiatan kita apalagi?”

“Istirahat,” jawab Dini singkat.

“Ha, istirahat?”, “iya.”

Dini pun menceritakan kegiatan di asrama mereka ini. Jihan mengangguk-angguk mendengarkan kalimat penjelasan yang sangat detail oleh Dini. Ada beberapa hal yang membuat Jihan mengeluh, akan tetapi Dini memberikan jawabannya.

“Enggak usah terlalu di pikirkan. Saat kita menjalani sesuatu dengan ikhlas, semua akan mudah dijalani.”

Nasihat berharga diberikan pada Jihan. Walaupun Jihan tahu itu petuah berharga, tetap saja. Perkataan tidak semudah ucapan Dini. Semua orang itu tidak sama, mungkin hal yang dikatakannya hanya mampu dilalui olehnya saja. Mereka memilih duduk di salah satu warung kejujuran di asrama ini, yaitu warung “Mak Eros” warung ini menyediakan berbagai makanan lengkap, mulai dari bakso tusuk goreng sampai roti isi selai duren. Alasan Mak Eros menjual roti selai duren karena ia kasihan pada anak asrama yang pastinya tidak akan bisa sering merasakan nikmatnya duren. Dengan adanya di sini, mereka akan biasa saja melihat duren. Namun, siapa sangka roti selai duren menjadi sasaran utama yang cepat habis. Memang buatan Mak Eros tidak dapat diragukan lagi.

Mak Eros sangat dekat dengan anak-anak, ia hampir semua tahu wajah-wajah mereka. Buktinya saja ia tampak asing dengan Jihan.

“Kamu anak baru toh?” tanya Mak Eros dengan adat bicaranya kental.

Jihan melirik lalu tersenyum dan mengangguk, “Iya, Mak.” Balas Jihan.

Lihat selengkapnya