Jihan melihat Dini yang tertidur menyamping ke arah dinding. Dini tidak bisa tidur jika lampu kamar nyala. Jika dimatikan pun tidak ada izin dari Uti untuk mematikannya. Sepi, sunyi, tidak ada langkah yang terdengar lagi dari luar pintu kamar. Sepertinya semua pada tidur atau menghabiskan waktu di dalam kamar saja. Ada beberapa langkah yang membuat Dini merasa terkejut, itu adalah langkah yang berjalan ke arah kamar mandi. Jihan melihat ke langit kamar. Atapnya putih sengaja dibuat bersih. Ada bekas peta air yang merembes di sana, masih sedikit terlihat. Jihan tidak bisa memejamkan matanya. Menurut penelitian, sebagian orang akan sulit tertidur pulas di tempat baru. Jihan ada bagian dari orang tersebut. Dini tiba saja terbangun dia berniat hendak ke kamar mandi. Melihat Jihan yang masih melek, ia langsung bertanya.
“Kau belum tidur juga?” tanya Dini.
“Aku tidak bisa tidur,” balasnya.
“Tutup saja matamu dengan paksa. Lama-lama tertidur juga.” Katanya.
“Iya, aku sedang berusaha.”
Dini mengikat rambutnya, ia bangun dan berjalan pelan agak mengangkang, karena ia menyeimbangkan tubuh dan pikirannya agar seimbang dari kantuk yang berat. Jihan tidak bertanya lagi ke mana akan perginya Dini. Ia pasti akan ke kamar mandi. Saat Dini beranjak keluar, suasana kamar ini menjadi lebih menyeramkan. Jihan menarik selimut dan bersembunyi di dalam sana. Sesekali ia mengintip ke arah pintu. Ia sangat berharap Dini segera muncul di sana. Tubuh Jihan mulai dingin ia tidak tahu bagaimana caranya menghilangkan rasa takutnya. Tiba saja pegangan pintu bergerak naik turun. Namun tidak ada yang masuk. Jantung Jihan berdegup kencang.
“Siapa di sana, kenapa Dini belum masuk juga?” tanya Jihan dalam hatinya.
“Dini.” Jihan memanggil Dini.
Ia memastikan itu adalah Dini. Namun, tidak ada suara jawaban dari Dini. Jihan memberanikan diri untuk membuka pintu. Saat ia buka tidak ada satu orang pun di lorong kamar yang panjangnya 20 meter itu. Bulu kuduk Jihan bangun dan ia langsung menutup kembali pintu, kau naik ke atas kasur dan kembali bersembunyi di dalam selimutnya.
Sesaat kemudian bunyi pintu terbuka ia memejamkan matanya tidak berani melihat lagi. Padahal itu adalah Dini. Dini heran melihat Jihan yang bersembunyi di balik selimut. Mungkin dia sedang tidur dan begitu caranya tidur. Dini pun langsung tidur kembali. Jihan tidak membuka selimutnya sampai subuh mendatang selimut itu masih menutupinya. Dini berniat akan mengambil wudu dan ia tahu Jihan pasti akan meminta ditemani lagi olehnya. Sebab itu ia membangunkan Jihan terlebih dahulu. Jihan langsung terbangun dengan mata sembab dan kurang tidur. Semalam kejadian itu pukul setengah dua pagi. Sekarang baru pukul lima. Dia hanya tertidur sekitar dua jam saja.
“Kenapa kau membangunkanku cepat sekali, sudah jam berapa sekarang?” tanya Jihan dengan suara parau.
“Ini hampir subuh. Ayo bangun! Atau kau akan tinggal sendiri di asrama?” kata Dini memberikan penawaran menarik.
Jihan cepat bangun dan dia baru ingat akan Shalat jamaah bersama di Mushalla inti. Tinggal sendiri di Asrama memang bukanlah suatu pilihan, setelah melihat kesunyian lorong kamar saat tidak ada aktivitas.
“Ayo cepat kita wudu. Jangan sampai mereka meninggalkan kita,” sambung Dini lagi.
Mereka segera wudu dan kembali ke kamar untuk memakai mukena. Lorong kamar mulai berisik. Dengan suara-suara anak lainnya yang mulai semarak dan bersiap meninggalkan kamar masing-masing. Tidak semua anak dalam keadaan semarak. Ada juga yang jalan seperti robot hidup, ada yang menambah beban pundak teman untuk membawanya jalan. Pemandangan seperti ini juga baru dilihat oleh Jihan.
***
Kajian subuh ini diisi oleh Kiai. Pendiri asrama dan sekaligus imam besar di kota ini.
“...hati-hatilah dalam memilih jalan. Jangan sampai begini, mencari jalan atau cara yang mudah malah masuk perangkap yang salah. Dan cobalah ke jalan yang berbeda agar selamat sampai tujuan. Ibaratkan seekor tikus, ia berjalan di jalan yang mudah agak ke pinggir dinding. Dia tidak sadar pemilik rumah sudah memberikan perangkap di jalan yang sering ia lewati...”