Jihan senang sekali dia berhasil menyetor dengan pujian baik sekali dari Uti Wardah. Dini menjadi peran utama dalam menyukseskan hafalannya. Di perjalanan naik tangga, Dini mengeluh sakit dibagian perutnya, Jihan refleks memegang perut Dini. “Dini, perut kamu kembung, kamu juga pucat. Aku panggil Uti ya?” Dini menarik tangan Jihan. “Jangan, aku gak papa, kamu bantu pegangin aku naik tangga aja biar gak jatuh, ya. Perutku ngilu sekali rasanya.” “Ah, baik, ayo pelan-pelan!” teman-teman mulai ikut membantu, jihan menjelaskan kepada mereka yang bertanya. Dini sudah di kasurnya dan teman-teman membantu menyelonjorkan kakinya agar nyaman. Namun Jihan merasa Dini sedang tidak baik. Dia tidak akan bertanya, membiarkan Dini istirahat lebih dulu, lebih mampu membuat suasana untuk bertanya lebih baik.
Kuliah malam tidak diikuti oleh Dini, Jihan sudah melaporkan pada Uti Almira bahwa teman sekamarnya itu sedang sakit. Saat dia kembali ke kamarnya, Dini mulai membaik, Jihan meletakkan mukena di hanger dan menyangkutkan di dasar pegangan Kasur miliknya.
“Bagaimana sudah baikan perut kamu?”
Jihan merasa lega, Dini tidak sendiri ada Pocut dan Dinda juga dikamarnya. Mereka adalah penghuni kamar depan, sebelum Jihan masuk asrama, ternyata Dini sudah lebih dulu memiliki teman dekat, tidak seperti yang dia pikirkan tentang Dini yang dipikir pendiam dan terkesan tertutup, walau memang benar Dini itu anaknya sangat tertutup. Mungkin saja, kalau mereka dua adalah kerabat terdekatnya.
“Sudahlah, Din, kamu pulang saja dulu ke kampung, supaya bisa istirahat.” Dinda melipat pakaian kering milik Dini yang sejak tadi sore diambil dari jemuran dan belum sempat melipatnya.
“Iya Dini, lagian, kamu sering sakit akhir-akhir ini, nampak loh dari wajah kamu selalu pucat.” Pocut menambahkan.
“Iya maunya begitu, tapi aku malah gak enak kalau pulang ke rumah, nantinya cuma tiduran aja, kalian paham kan, maksudku?” Tidak sepenuhnya aku memahami, tapi mereka bisa memahaminya. Pocut membuka lemari untuk memasukkan baju yang sudah dilipat oleh Dinda, sangat rapi, susunan baju di lemarinya seperti susunan di lemari Lundry. Pocut meletakkan tanpa memindahkan apapun dari dalam sana, hanya saja tatapannya berpokus pada tablet obat yang diyakini adalah obat yang baru diambil dari apotik beberapa hari yang lalu, tapi obat itu tidak lah asing bagi Pocut. Dia pernah melihat saat kakaknya mengonsumsi obat yang sama. Vitamin B3 itu adalah obat yang diberikan kepada ibu hamil. Kalau begitu Dini sedang hamil. Jihan menatap Pocut secara diam-diam, jihan melihat sesuatu yang sama, karena dirinya baru saja berpindah ke dekat dinding lemari, tablet itu juga mampu dilihatnya, tidak salah lagi, perut kembung yang dipegang Jihan adalah bayi dalam kandungan Dini. Pocut cepat menutup pintu lemari.
“Maaf, ya, aku udah ngerepotin kalian terus.”
“Enggak repotin, kok, kamu mau makan apa biar kita minta izin ke Uti untuk keluar bentar.”
“Aku udah kenyang, makasih, ya.”
Dini kembali tidur, Dinda membantu menarik selimutnya. Pocut malah fokus ke perut Dini, dia benar melihatnya. Mereka berkumpul lagi untk aktifitas asrama selanjutnya, Dini sudah lebih baik dan dirinya tidak menyadari jika pocut dan jihan tahu tentang kondisi perutya sedang hamil.
Lelaki berkulit putih dan kemerahan memakan dengan lahap masakan sang ibu yang memang masak menu banyak hari ini. Sadewa mendapatkan pertanyaan-pertanyaan dari ketiga kakak laki-lakinya. Pertanyaan yang membuat kupingnya panas dan ingin meledak, mereka menertawakan kisah percintaan sadewa dan Jihan yang terhalang pesantren. Ruang makan berdinding semi permanen dengan ukuran yang luas, sempat dibuat ramai dengan tawa mereka semua kecuali Sadewa. Dia lebih menutup telinga dan mengenyangkan perutnya saja, lalu berdiam di kamarnya. Jiwa seorang ibu terasa begitu memahami apa yang dirasakan Sadewa, walau dia turut tertawa.