Dini mulai tergopoh-gopoh memposisikan perutnya yang kian membesar. “Bibi, tolong aku ambilkan minum, Bi.” Rintih Dini ingin meminta minum karena tenggorokannya terasa kering, tapi postur perutnya semakin membesar, membuatnya sesak menyeimbangkan badan. Bibi Sur yang paling memahami kondisi Dini dengan siaga menolongnya, mereka hanya tinggal berdua. Dini belum sempat lagi bertanya, kenapa paman Sur tidak ada di sini, sedangkan dirinya sudah dua bulan berada di rumah.
“Bi, di mana Paman Sur, aku tidak melihatnya sejak aku pulang?”
Bibi Sur menuangkan air putih ke gelas, lalu memberikannya pada Dini, dia kembali menjauh tidak berani menceritakan dari jarak dekat, Dini mulai menebak jawabannya tidak akan baik. Bibi menceritakan apa yang terjadi dengan tidak menatap Dini. Dia menatap keluar jendela. “Paman sudah meninggalkan Bibi, semenjak Bibi tahu semua yang terjadi dengan kamu, Din. Malam itu …”
Surau pulang dengan aroma tidak sedap keluar dari mulutnya, karena kebiasaannya minum tuak tidak pernah bisa berhenti, Bibi Sur menampar suaminya berkali-kali agar suaminya sadar, tapi hal itu tidak ada hasilnya. Justru Bibi Sur di dorongnya kuat, untung saja jatuh di atas sofa. Paman mencari kamar Dini di belakang. Bibi Sur berusaha mencegah, tapi tenaganya tidak cukup kuat untuk menahan suaminya. Dini yang kebetulan sedang tidur pulas ditarik paksa dan dilempar kuat ke lantai. Dentuman keras terdengar cukup menyakitkan. Sesaat Bibi sur mendengar tangisan Dini yang amat ketakutan, Bibi Sur berusaha mendobrak pintu kamar Dini, tapi tidak juga berhasil. Tak lama suara tangis Dini pecah sambil minta tolong pada bibinya, terdengar tubuh Dini di pukuli menggunakan tali pinggang yang ikut terdengar mengenai bagian lemari. Menyakitkan. Bibi Sur menarik-narik rambutnya, dia sudah melalaikan amanah dari almarhum kakaknya untuk menjaga Dini. Bibi Sur berulang kali mengatakan kata maaf. “Maafkan Bibi, Dini. Bibi tidak becus menjagamu, maafkan Bibi, Nak.” Suara Bibi Sur terdengar begitu parau. Dini menarik napas, dia tidak ingin mengingatkan peristiwa itu, sangat menyakitkan. Walau sampai sekarang dia belum tahu apa penyebab Paman Sur memukulinya dalam keadaan mabuk, yang diduga Dini hanya menjadi beban, tapi dalam keadaan sadar Paman Sur terlihat sangat baik.
Bibi Sur mendekati Dini. Mengusap tangan Dini dengan tatapan malu, begitu juga Dini. “Maafkan bibi, Dini (terdengar tangis) itulah alasan kenapa Bibi minta kamu untuk tinggal di asrama saja. Bibi berharap di sana kamu akan mendapatkan Pendidikan dan tempat tinggal yang lebih nyaman, Bibi takut kalau pamanmu akan bertindak lebih jauh untuk menyakiti kamu, Bibi tidak tahu kenapa Paman kamu melakukannya. Namun, Bibi malah membuat kamu tersiksa begini, kamu harus melewati hari-hari kamu tidak normal, semua salah Bibi.” Bibi Sur mengatup tangan Dini erat, hingga Dini merasakan hangat tetesan air mata Bibi Sur. “Bibi, semua sudah terjadi, aku memang terluka dengan kejadian ini, berulang kali aku sempat marah dan ingin membenci bibi, tapi aku tidak tuli dan buta, Bi. Aku bisa melihat perjuangan Bibi berusaha membuka pintu untuk menolongku. Berhentilah menyalahkan diri Bibi karena apa yang terjadi denganku, tidak seberapa dengan Paman menyakiti Bibi (pelukan bibi tiba saja terlepas) Bibi sudah benar, lelaki itu tidak baik buat Bibi.” Bibi Sur melepas memeluk Dini dengan pelukan hangatnya, dia tidak menyangka Dini mengetahuinya, “Dari mana kamu tahu Bibi sering dipukuli oleh Pamanmu?” “Maafkan Dini, Bi. Dini hampir tidak bisa tidur setipa malam, saat Paman pulang dalam keadaan mabuk, bibi selalu saja dipukuli paman karena bibi memarahi paman. Dia bukan laki-laki baik, Bi, Dini ingin mengatakannya pada Bibi sejak dulu, tapi Dini takut, sekarang Dini senang banget Paman udah gak sama Bibi lagi.” Bibi Sur tidak marah, dia justru senang jika berpisah dengan Surau juga keinginan Dini. Suryati sudah benar melupakan suaminya yang pemabuk. Namun, semenjak Dini di asrama dia terus saja dihantui rasa bersalah pada Dini. “Dini, apa Bibi salah memasukkan kamu ke pesantren yang berasrama, apakah itu hanya membuat kamu semakin sulit menyembunyikan kenyataan ini?” Bibi Sur mengelus perut Dini yang semakin membesar.
Dini menggenggam erat tangan bibinya, tatapan matanya begitu dalam. “Bibi, aku pernah baca, jika mengandung di usiaku yang masih terbilang muda, bisa saja aku mengalami pendarahan hebat dan salah satu akan meninggal, benarkah itu, Bi?” Bibi menarik napas lalu tersenyum, “Dini, kamu sedang hamil besar, tidak seharusnya kamu memikirkan hal buruk tentang kehamilanmu, pikirkanlah yang baik-baik karena akan sangat berpengaruh dengan kondisi janin kamu. Bibi sejak dulu sangat ingin punya anak, tapi bibi tidak pernah dikaruniai anak. Kamu sudah Allah kasih, harus di jaga dengan baik. Karena anak ini tetaplah anak yang suci.”
“Iya, Bibi benar. Tapi, Bi aku terlalu waspada. Aku takut tidak akan sanggup merawatnya, bagaimana dengan kebutuhannya nanti, belum lagi aku tidak punya biaya persalinan, Bi.” Walau Dini terus bicara tapi tatapannya terlihat begitu kosong, kehamilan ini kenyatannya hanya menambah beban dalam hidupnya.
“Stt, kamu tidak perlu mencemaskan itu, Bibi akan usahakan semuanya.” Bibi meyakini pada Dini, walau sebenarnya dia juga tidak mampu membantu semua itu. Bibi kembali memeluk Dini penuh hangat.
Sejak melihat langsung Dinda kerasukan Jihan makin tidak nyaman, dia ingin pulang dan melanjutkan kehidupannya di rumah saja, Jihan tidak kuat dengan kehidupan asrama yang terus begini. Pocut melihat jelas wajah Jihan murung dan kulit putihnya makin pucat.
“Jihan kamu sakit?” tanya Pocut yang tengah memeluk buku notebook yang dijadikan catatan belajarnya selama di asrama, buku itu nampak tidak lagi baru.
“Enggak sakit, aku cuman terus kepikiran dengan kejadian-kejadian mistis di asrama. Aku sepertinya tidak bisa bertahan dalam waktu lama, Cut.”
Pocut tersungging senyum, keluhan itu sering didengar Pocut dari beberapa anak lainnya yang baru pertama kali masuk asrama, jadi Pocut bisa menjawab ketakutan Jihan.
“Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan apalagi kamu takutkan, tujuan kita mulia Jihan. Menuntut ilmu agama di sini, beberapa orang lain juga pernah merasakan ketakutan seperti kamu, dan pelan-pelan semua kembali normal, saat dia mulai memahami apa tujuannya ada di sini.”
“Tapi sejak awal aku tidak punya tujuan, ini semua hanya kemauan ibuku. Aku di paksa ada di sini.”