Pocut dan Dinda, melewati kamar yang tak kunjung dibuka, akhir-akhir ini, ada suara tangisan berasal dari sana, menakutkan sekali, beruntung Jihan sudah tidak di sana lagi, kalaupun Jihan kembali mereka akan merahasiakan rahasia kamar 113.
“Pocut?” Dinda memanggil Pocut berbisik, Pocut yang sudah tidur enggan membelok badan, dia hanya menjawab “Ehm. Ada apa?” Dengan mata tertutup. Dinda menutup seluruh badannya dengan selimut, dia takut jika suara itu semakin mendekat. Nyatanya suara itu terdengar semakin jelas. Namun, itu satu kebaikan, karena Pocut penganut kepercayaan tentang suara gaib, saat terdengar jelas itu artinya dia menjauh, jika suaranya kecil berartyi dia mendekat. Dinda semakin takut, suara itu sangatlah jelas, dia mengintip perlahan, saat merasa tidak ada apapun, Dinda bangun dari kasurnya, Pocut menyadari ada gerakan dari belakangnya, dia pun berbalik badan. Dia mengucek matanya berulang kali, hantu Dini semakin jelas terlihat. "Tidak, ini, tidak mungkin," bisiknya pelan, dia mengucek matanya sekali lagi. Alangkah kagetnya Pocut melihat hantu Dini kini berada di depannya, "Jangan Pocut, jangan berteriak!" Pocut sangat takut, dia meyakinkan dirinya sendiri. Dia memberikan kode jemari yang bergerak untuk keluar kamar pada Dinda. Dinda sempat bertanya ragu, menaikan kedua alisnya serta menaikkan bahunya bingung. "Ya Tuhan, dia malah tidak mengerti." Pocut meraba kunci kamarnya di bawah bantal, wajahnya seperti kebelet buang air besar, padahal dia hanya butuh meraba, memastikan kunci di tangannya akan masuk dengan cepat ke lubang pintu dan sekali putar saja pintu akan terbuka.
“Dinda ikut aku (menyipitkan mata) dia ada di kamar kita,” kata Pocut pelan menyejajarkan giginya. Dinda mencoba memahami, dia ikut Pocut yang mulai berjalan ke pintu. "Yups, sesuai sasaran," ucap Pocut masih pelan. Oke hitungan dalam hati dimulai. satu dua tiga. "Lari Dindaaa ...!" Pocut lari kebirit, disusul Dinda yang terobsesi perintah Pocut. Mereka tidak berhenti berlari, sampai berhenti di depan kamar Uti Wardah dan mengetuk pintu kamar Uti berulang kali.
“Uti ....” Teriak keduanya serentak, sepanjang koridor dibuat bertanya-tanya, mereka berdiri di depan pintu setengah terbuka, melempar tanya. “Ada apa?” Pocut dan Dinda menunjuk-nunjuk lantai atas. “Ada hantu di kamar kami.” Bukan karena takut, mereka malah keluar bertumpuk di depan kamar Uti Wardah untuk memahami lebih jelas apa yang terjadi.
“Ada apa Dinda?”
“Uti ... ada Dini.”
“Dini?” Uti tidak percaya.
Anak kamar dibuat penasaran, salah satu di antara mereka sangat berani. Dia mengajak temannya untuk melihat. “Ayo Uti kita lihat!” Penasaran, mereka ikut, dengan beberapa orang ketakutan tidak sedikit yang saling merangkul dan bersembunyi-sembunyi di balik punggung temannya, ada juga yang menutup setengah wajah di balik mukena temannya, mereka seperti anak kecil yang mainannya diambil orang lain. Hampir semua anggota lantai satu turut ikut, karena ternyata mereka takut sewaktu-waktu hantu yang dimaksud berada di bawah. Namun, nyatanya ketika semua sisi ruang sudah diperiksa, termasuk kamar 113 tidak ada siapapun di sana, hantu yang disangka Dini malah tidak terlihat. Akan tetapi Pocut meyakininya kepercayaan, jika dirinya adalah titisan para normal, karena bisa saja hanya dia yang bisa melihat Dini mulai pergi begitu saja, seperti kecewa. Dia sangat berharap Dinda percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Aku melihatnya, dia sudah pergi.”
Semua dibuat kaget dengan ucapan Pocut. “Pocut benarkah yang kau lihat?” tanya Uti Almira yang turut terbangun walau sedikit terlambat menyusul mereka ke lantai tiga. “Aku juga tidak tahu tentang kebenaran yang aku lihat, tapi itu beneran Dini.” Pocut berusaha meyakinkan banyak orang.
Uti mendekat, menggosok punggung Pocut. “Pocut, kamu harus banyak istirahat, mungkin kamu belum bisa melupakan Dini, sehingga kamu terus memikirkannya." Siapa yang akan percaya dengan gadis kecil sepertinya, yang ada orang-orang menertawakan kehaluannya. Pocut hanya bisa menceritakan ini pada Jihan. Hanya Jihan yang bisa percaya. Sambil tertawa mengejek kehaluan pocut, mereka kembali ke kamarnya masing-masing. Pocut pun demikian, tapi dia tak lagi bersemangat.
Telinga sadewa rasanya ingin meledak, terus saja bapak menasihatinya untuk tidak dekat dengan Jihan. “Bapak lihat anak itu sudah kembali, apa kamu menjemputnya di ujung jalan?” Sadewa tidak peduli dia terus memotong kayu, entah apa yang harus dia jawab, bapak terus mencari muasal masalah.
“Kenapa kau tidak menjawab, apa dia lebih berarti dari pada Bapak? Apa selama ini dia yang memberimu makan? Sehingga pertanyaan Bapak kau abaikan.” Sadewa menarik napas dalam, mengeluarkannya konstan. “Jangan terus menyalahkan Jihan, Pak!” “Bela terus, kau terus saja membelanya, apa istimewanya perempuan itu untukmu, dia hanya anak dari lelaki pengecut yang sifatnya sama dengan orang tuanya. Lihat abangmu Mus, dia bisa menemukan yang lebih baik, itu artinya kau bisa dapat yang jauh lebih baik juga.” Benarlah dugaan Jihan, Nirmala akan menjadi ratu dikeluarga ini. “Tinggalkan dia atau kamu akan menyesal seumur hidup!” Sadewa menghembus napas cepat. Bapak menghidupkan motor dan hilang di sudut lorong yang bertanah kuning. Justru itu jauh lebih baik dari pada mendengar pidato berkepanjangan.
Ibunya pun kasihan melihat sadewa dibatasi untuk dekat dengan Jihan, padahal anak itu baik, dan selalu membantu orang tuanya. Walau ibu Sadewa paham bagaimana mulut Nur. Suaranya menyakitkan kalau bicara. Apalagi jika bicara dengannya, pasti tidak pernah ada baiknya, masa lalu Nur dengan suaminya membuat mereka tidak pernah akur hingga bersambung ke anak-anak.
“Sadewa?” ibu memanggil sadewa yang memotong kayu bakar di halaman belakang. Sadewa hanya menyahut, “Iya, Buk.” Ibunya khawatir, kemarahan suaminya yang terus-menerus mengatur hidup Sadewa akan membuat psikisnya tidak baik-baik saja. Karena dia paham betul, cinta dan rasa suka tidak bisa dipaksa apalagi berusaha meninggalkan, itu sangat sakit.