Angin sepoi-sepoi tampak berbeda dari biasanya, Jihan jadi ingat apa yang dilihatnya. “Baru aja aku kembali, Dini sudah menungguku di bawah pohon itu, apa maunya Dini?” dalam hati Jihan. Dinda dan Pocut menggosok-gosok tubuh mereka karena merasakan dingin yang sama, suara gemuruh angin terdengar jelas, tapi suara jangkrik tidak ada malam ini, entah karena sudah punah atau entah apa sebabnya.
Perasaan sedikit lebih lega saat sudah masuk ke asrama, Tek! Malah mati lampu. Mereka berteriak spontan. “Jihan, aku takut.” Pocut dan Dinda bergempetan dengan Jihan yang berdiri di Tengah mereka. “Aku juga takut, kayaknya kedatanganku tidak direstui.” Jihan berdalih mengalihkan topik. Sekelibet bayangan putih lewat. “Astaghfirullah, apa kalian lihat yang tadi?” tanya Jihan dengan mulut yang sedikit terbuka. Tubuhnya digetarkan oleh kedua temannya yang mengatakan, “Iya, kami melihatnya.” Suara yang serentak dan bergetar. “Dimana anak-anak, apa mereka tidak kepanasan berada di dalam kamar?” tanya Dinda butuh kepastian. “Justru berada diluar lebih menakutkan.” Jawab pocut. Tiba saja petir menerangi sekilas. Angin kencang membuka cepat pintu asrama yang tidak sempat di tutup rapat. “Ya ampun, malah kebuka. Astaghfirullah, ap aitu?” Dinda melihat jelas sesuatu di luar. “Dinda tutup saja pintunya, jangan banyak bertanya, kakiku sudah tidak kuat lagi berdiri, aku sangat takut, ini persis seperti bermain peran dalam film horror.” Pocut menambahkan. “Aku tidak berani, mendekatlah sedikit saja ke pintu.” Dinda menarik tangan kedua temannya yang menurutinya.
Pintu selesai di tutup, Hujan begitu lebat. Jihan malah kepikiran Angga. “Bagaimana dengan Angga, dia pasti kehujanan.” Suara Jihan sudah pasti terdengar ke teman-temannya.
“Ya ampun Jihan, pikirkan dulu diri kita yang ada di sini, Angga itu siapa? Apa pacarmu tadi? Bukankah pacar kamu namanya Sadewa?” Dinda bertanya Panjang lebar. Rasa takutnya sedikit berkurang dengan banyak bicara.
“Sudah nanti dulu, ayo berjalan mencari petunjuk benda atau mendekat saja kedinding biar mudah berjalan.” Pocut memberikan ide yang bagus. Sampai akhirnya mereka menemukan titik belok naik tangga. Tiba saja Dinda menjerit kencang. “Hantuuuuuu.” Teriak dinda melengking usai melihat cahaya lilin di depannya. Wajah Uti Almira terlihat samar oleh temaram cahaya lilin. “Ini saya Dinda, bukan hantu.” Ucapnya kesal, karena Uti jadi ikut kaget. “Hampir aja kamu buat saya jantungan.” Tambahnya. Dinda spontan memeluk Uti Almira setelah melihatnya lebih jelas. Jihan mencium tangannya. “Syukurlah kamu sudah sampai Jihan, Uti Wardah sampai kepikiran sama kamu, soalnya lama sekali sampainya.” Sambil berjalan mengantarkan Jihan ke kamar barunya yang sudah disiapkan sore tadi, kabar kembalinya Jihan ke asrama begitu mendadak dieterima Uti Almira, sehingga dia harus meminta bantuan Pocut dan Dinda untuk mengangkat Kasur Jihan.
“Kamu diantar sama siapa tadi?”
“Sama temanku.”
“Wes, teman atau teman?” Dinda malah mengejek.
“Teman loh, cuman temannya laki-laki Uti, soalnya aku gak tau mau minta tolong sama siapa lagi.” Jihan berdalih begitu adanya.