Dinda sedari tadi menyaksikan perbincangan Wardah dan Hasan. Betapa kagetnya Wardah melihat Dinda dengan senyum sinis berdiri di sudut pintu yang setengan terbuka.
“Dinda?”
“Aku pikir Uti Wardah benar-benar jadi inspirasi, tapi ternyata malah mengecewakan. Karena diam-diam di belakang kami semua Uti seperti Wanita di luar sana, tidak bisa menjaga pandangan dari laki-laki. Kalau begitu wajar saja Dini sampai hamil tinggal di pesantren ini.” Dinda membalikan badan. Panggilan Uti Wardah berkali-kali diabaikan, dia tidak peduli seolah apapun yang keluar dari suara itu tidak dapat dipercaya lagi. Dia berjalan dengan cepat mengunci diri di kamarnya. Uti Wardah tidak ingin kesalah pahaman ini berlanjut hingga mencemarkan nama baiknya di hadapan santrinya. Namun, notifikasi WA masuk dari guru pembimbingnya. Wardah diminta segera menemui dosbingnya itu.
Pocut dan Jihan baru saja selesai menjemur pakaian di sayap kanan lantai tiga, ada ruangan terbuka yang berjajar 10 tali dengan lima meter panjangnya. Beberapa bukti habis mencuci dan menjemur pakaian, dari bercak basah di jilbab dan celana training yang mereka gunakan. Dinda menatap keluar jendela dengan ekspresi datar, mengundang kekhawatiran.
“Dinda ada apa dengan kamu?” Jihan mendekat bertanya serius.
“Iya, biasanya paling ceria, tapi hari ini koku dah merengut aja, kayak bete gitu.” Pocut menambahkan sambil menarik handuk di samping lemarinya. Dinda pun menceritakan apa yang dilihatnya tadi dari pertama hingga akhirnya dia berdiri di jendela ini. Jihan turut memberi saran, untuk tidak menuduh yang sebenarnya belum diketahui kepastiannya. Pocut menyetujui setiap saran dari Jihan. Namun, Dinda berusaha untuk menerima, tapi ekspresi Bahagia dari Uti Wardah yang dilihatnya tadi, tidak mencerminkan dirinya itu sebagai posisinya di asrama ini.
“Eman gada Uti yang harusnya membawa kita pada perbaikan agama, tapi dia sendiri malah pacarana dan itu menentang agama, kan?”
“Uti wardah juga manusia, Dinda. Apa salahnya kalau dia punya pacar, bisa juga itu calon suaminya.”
Jihan mengangguk setuju. “Ehm, kemungkinan begitu. Cobalah untuk berpikir yang baik tentang Uti yang selalu membantu kita, selama kita di sini dia adalah kakak kita, bahkan orang tua kita.”
“Enggak, aku udah gak percaya lagi, apa yang aku lihat cukup menggambarkan siapa dirinya.”
Pocut dan Jihan pasrah.