Dinda sudah berjanji akan menemui laki-laki itu di sana. Dia pergi tanpa sepengetahuan Pocut dan Jihan.
“Aku tidak melihat Dinda hari ini, dia juga tidak masuk Pelajaran agama hari ini, kira-kira ke mana, ya, Dinda?”
“Apa mungkin dia pulang?” Imbuh Jihan.
“Gak mungkin, deh, kayaknya.”
“Coba kita cek di kamar, mungkin dia sakit.”
Pocut mengangguk, mereka berjalan cepat. Di persimpangan jalan menuju asrama, Jihan melihat pagar yang mengarah ke rumah kosong di belakang asrama terbuka. Jihan mengatakan hal tersebut pada Pocut yang masih fokus dengan sekumpulan anak-anak asrama yang lain. Namun, Pocut memberikan saran lain, agar mereka tidak mencoba-coba ke sana, lagi pula rumah itu kosong, bisa saja tukang kebun yang membukanya dan sekarang dia sedang membersihkan rumput yang kian membentang mulai memanjang di perkarangan sana.
Sudah lama sadewa masih bertanya-tanya tentang Jihan yang belum mengabarinya soal apapun. Sadewa meletakkan kayu di kedua keranjang motor bapak. Saat itu juga, Angga laki-laki yang pernah dilihatnya bersama Jihan berhenti mendadak, menyapa.
“Sadewa?”
Sadewa melihat sekilas mengenal. Dan dia hanya menyunggingkan senyum, dan mengangguk sekali.
“Apa kabar? Jarang sekali kita ketemu.” Angga turun dari motornya. “Kamu gak lanjutin kuliah? Oh, gak ada biaya, ya. Ya, wajar aja, sih.” Angga menegakkan tubuhnya dengan kedua tangan dia penuhkan di saku kiri kanan celana nya. Sadewa tidak peduli, dia fokus menyusun kayu.
“Kemarin aku sempat jalan sama Jihan. Dia kayaknya lagi ada masalah, dan pacar kamu itu agak aneh, kalau ada maunya malah dekatin aku, padahal kamu kan, pacarnya. Mungkin dia sadar, kalau kamu gak mampu memenuhi apa ayng dia inginkan. Sebaiknya kamu jauhi Jihan, karena sebenarnya dia adalah milikku sejak dulu.” Angga naik ke mootrnya lagi setelah menitipkan pesan yang membuat sadewa menggepalkan tangannya. Angga pergi begitu saja. Sadewa terduduk dan menghamburkan seluruh kayu di tangannya ke tanah. “Jihaaaaaaaannn.” Berteriak memanggil Jihan yang dia tahu hal itu tidak bisa mendatangkan Jihan ke hadapannya. “Kesalahan besar Jihan, kamu menghubungi dia, kamu salah Jihan, harusnya aku, aku yang akan beri solusi, aku yang akan temani kamu ke sana jika memang kamu butuh.” Sadewa menarik tangannya keras melingkar di kepalanya. Mukanya memerah karena marah dan kesal.
Jihan dan pocut tidak melihat Dinda di seputaran asrama. Namun, perasaan tidak baik menerpa Jihan. Pocut, rasanya dadaku sesak, kayak gelisah gitu.” Jihan khawatir dengan perasaannya. “Mungkin kamu khawatir sama Dinda.”
“Entahlah, aku butuh minyak angin.”
Pocut memberikan minyak angin roll on miliknya. Jihan langsung menggosok ke tangannya dan mengusap di dadanya, juga hidungnya. “Terima kasih.” Dia langsung mengembalikan karena takut hilang. Tidak lama kemudian dada itu kembali normal bersaan dengan masuknya Dinda ke dalam kamar. Mereka smeua melihat Dinda menjadi sosok yang berbeda, Dinda seperti Dini dulu yang menyimpan banyak rahasia.
“Dinda kamu dari mana?”
Dinda menarik napas dalam dan menghembuskannya. Wajahnya basah. “Aku dari kamar mandi.” Jawabnya gugup. “Kamar mandi? Tapi sejak tadi pagi kamu memang gak ada di asrama.”