Jangan Tinggal Sendiri di Asrama

Firyal Fitriani
Chapter #17

Suryati

Perjalanan yang begitu Panjang akan di lalui. Dalam mobil yang disediakan asrama tidak hanya mereka berempat, tentu ada sopir, dan dua polisi yang dikerahkan, kebetulan Uti wardah menelpon Hasan, dan hasan membantu mengerahkan Polisi. Mereka harus melewati jalanan berliku, berulang kali Jihan harus mengambil kantong plastik untuk menampung sisa olahan makanan yang terdorong dari mulutnya. Inilah yang membuat Jihan malas naik mobil apapun. Inilah salah satu alasan kenapa dia minta tolong pada Angga untuk mengantarnya ke asrama. Karena perut yang dirasa kosong, Jihan tidak snaggup bicara, di tambah lagi kepalanya sangat pusing. Berulang kali dia minta maaf pada temannya dan uti karena dirinya yang anti mobil, harus merepotkan yang lain.

Tempat ini sangat sejuk, pepohonan hijau membingkai jalan membentang sama, gelombang dedaunan membuatnya jalanan lebih terbingkai indah, terbayarkan sudah anti mobil yang dirasakan Jihan. Kota ini dikenal kota dingin. Mobil sedikit susah masuk ke dalam sana, mereka terpaksa turun dan berjalan sejauh lima kilometer untuk sampai ke rumah bibinya Dini.  Dua orang polisi yang sengaja dibawa oleh Uti wardah adalah untuk menjaga-jaga. Mereka seperti yakin kalau sesuatu terjadi dari rumahnya.

“Pak, jangan turun dulu, atau menampakkan wajah kepada Masyarakat, saya takut akan menimbulkan kehebohan, apalagi kalau tidak terbukti Bibi Sur pembunuhnya.”

“Siap, Bu, kami siap melayani dengan baik. laporan kami terima.”

“Terima kasih, pak.”

Merek berjalan di jalan setengah tapak yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Terlihat jelas seorang wanita muda yang lebih muda dari ibunya Jihan, sedang menyapu halaman rumah yang terlihat cukup terawat, bunga bermekaran seribu warna terlihat layu karena matahari masih terlalu Terik, tanah basah bertanda bahwa semalam baru saja hujan, Wanita itu menyambut tamu yang tidak diundang ini dengan hangat, kelihatan bibi Sur adalah orang yang baik, mungkin saja bukan dia pelakunya. Tegur sapa dimulai dengan ucapan dan salam hormat hingga berakhir duduk di ruang tamu yang terasa begitu pengap. Perbincangan singkat terjadi, termasuk menanyakan kabar dan basa-basi keadaan bibinya semenjak di tinggal Dini. Sebentar, perhatikan wajah Jihan. Dia melihat aura yang berbeda dari Bibi Sur. Ada kejanggalan yang terlihat saat mereka bertanya-tanya tentang Dini, jemari Bibi Sur saling mengotak-ngatik, seperti layaknya sedang diinvestigasi. Jihan, Dinda, dan pocut memberikan kode untuk mengecek kamarnya Dini. Mungkin hal ini memang kurang sopan, tapi ini adalah salah satu tujuan mereka berada di sini.

“Bibi, Sur, boleh kami izin ke kamar mandi sebentar?” minta Jihan.

“Oh boleh, mari saya antar.”

“Oh gak papa,Bi, ditemani sama teman-teman saja, kasian juga Uti kami kalau ditinggal sendirian.” Jihan memberi kode lewat sorotnya ke uti Wardah agar mengalihkan pembicaraan lebih lama.

“Baiklah kalau gitu, langsung aja ke belakang terus belok kiri, ya, kalau belok kanan nanti malah ke bekas kamarnya Dini.”

“Oh iya, Bi, makasih, ya, Bi.”

Dorong-dorongan kecil gak sabaran sempat terjadi. Mereka justru berbelok kanan, memasuki ruang kamar berukuran tiga kali dua meter ini. Beberapa boneka sempat dipajangkan. Mereka terus mencari petunjuk, ada foto peninggalan dini dan pacarnya dari balik buku diari. Betapa indah kata-kata yang dirangkai Dini di sini.

“Dia sangat berbakat dalam berpuisi.” Kata Pocut.

“Pocut, fokus jangan habiskan waktumu membaca curhatannya.”

“Justru dari sini bisa dapat petunjuk.”

“Ah, iya juga, terserahmulah.”

Lihat selengkapnya