Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #2

Zamrud yang Retak

Sabtu, 7 September 2025. 15:30 WIB.

Asap knalpot mengepul tipis dari bibir Suzuki Satria F150 yang berhenti tepat di seberang gerbang megah itu. Di atasnya, Orion Dananjaya melepas helmnya, membiarkan angin sepoi-sepoi Bogor yang lembap memainkan anak rambutnya yang hitam legam. Seharusnya ia berada di dojo sekolahnya sekarang, menyempurnakan jurus di bawah pengawasan pembina ekskulnya. Tapi janji es krim dengan Jean Anindita adalah prioritas yang lebih mendesak. Dari jok motornya, ia menatap nama yang terukir gagah di atas gerbang: SMK ZAMRUD PERADABAN.

Orion melirik jam di pergelangan tangannya. Ia sengaja datang lima belas menit lebih awal. Sebuah kebiasaan disiplin dari latihan silatnya, ironisnya, ia gunakan untuk membolos dari latihan itu sendiri.

Ia mengeluarkan ponselnya, membuka percakapan mereka.

Orion: Aku udah di depan. Menunggu Pujaan Hati yang entah di mana?

Centang dua biru muncul seketika.

Jean: Latihanku baru mulai. Pelatih lagi ngomel soal postur. Aku izin ke toilet, terus langsung cabut. Beri aku 5 menit.

Orion terkekeh. Ia bisa membayangkan Jean Anindita berdiri di lapangan panahan, memasang wajah serius andalannya, sementara pikirannya sudah merencanakan rute pelarian yang paling efisien. Jean adalah seorang master kamuflase, sebuah keahlian yang membuatnya menjadi atlet panahan yang ditakuti sekaligus gadis yang membuat Orion rela mengorbankan sesi latihannya.

Orion: Seorang pemanah harus fokus pada target. Targetmu sekarang es krim, bukan bantalan sasaran. Cepat.

Jean: Sabar, Kakak Pesilat. Gak semua pelatih bisa dikelabui semudah itu.

Ia memasukkan ponselnya ke saku jaket denim. Pandangannya menyapu halaman sekolah yang luas di balik pagar besi tempa. Jam pelajaran reguler sudah usai, tapi energi di SMK Zamrud Peradaban belum padam. Dari lapangan basket terdengar decit sepatu dan pantulan bola. Di bawah pohon flamboyan, anggota klub mading sedang berdiskusi serius. Ini adalah jam-jam emas bagi para siswa yang mendedikasikan sore mereka untuk minat dan bakat, kecuali bagi dua orang yang punya rencana lain.

Lima menit terasa seperti satu jam. Orion menyandarkan punggungnya di motor, mengamati gerak-gerik di balik pagar. Pintu lobi utama yang mengarah ke lapangan olahraga terbuka, dan sesosok gadis dengan seragam olahraga, kaus dan celana training melangkah keluar dengan tas ransel di bahu.

Itu dia. Jean Anindita.

Bahkan dari jarak lima puluh meter, Jean selalu menonjol. Bukan karena ia berteriak atau tertawa paling keras, justru sebaliknya. Ia berjalan dengan ketenangan yang memancarkan aura berbeda. Langkahnya mantap dan rambut sebahunya yang diikat ekor kuda bergoyang seirama. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan sebelum akhirnya menatap lurus ke seberang jalan, ke arah Orion. Sebuah senyum kemenangan yang tipis terukir di bibirnya saat mata mereka bertemu.

Senyum itu, pikir Orion, sepadan dengan hukuman yang akan ia dapatkan dari pembina ekskulnya gara-gara bolos latihan.

Jean melambai kecil sebelum mempercepat langkahnya menuju gerbang. Orion sudah menyalakan mesin motornya, siap untuk segera pergi, membawa gadis itu menjauh dari omelan pelatih dan postur yang kaku, menuju semangkuk es krim dan percakapan tak penting di sebuah kafe tersembunyi. Rencana yang sempurna untuk sebuah Sabtu sore.

Saat itulah dunia mulai retak.

Retakan itu tidak dimulai dengan ledakan atau teriakan. Ia dimulai dengan keheningan.

Seorang siswi dari ekskul tari, yang berjalan tak jauh di depan Jean, tiba-tiba berhenti. Langkahnya terhenti begitu saja, seolah kakinya terpaku di paving block. Jean, yang hampir menabraknya, menggerutu pelan. "Permisi," katanya, mencoba melangkah ke samping.

Gadis itu tidak bergerak. Tubuhnya kaku, kepalanya sedikit miring. Dari siswa lain yang lalu lalang, tidak ada yang terlalu peduli. Mungkin ia sedang kelelahan. Tapi Jean melihat sesuatu yang aneh. Tangan gadis itu, yang memegang botol minum, mulai bergetar. Gemanya halus pada awalnya, lalu semakin hebat hingga botol itu jatuh berdebam ke tanah, isinya tumpah membasahi paving block.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Jean, nalurinya merasa ada yang salah.

Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya mengeluarkan suara aneh dari tenggorokannya, seperti dengungan rendah yang tercekik. Matanya, yang tadinya menatap kosong, kini membelalak. Pembuluh darah di pelipisnya tampak menonjol, berdenyut-denyut dengan ritme yang tidak wajar.

Di seberang jalan, Orion menyaksikannya. Ia melihat gadis itu, melihat Jean yang berhenti di dekatnya. Instingnya, yang ditempa oleh ribuan jam latihan silat, berteriak. Ini bahaya. Bukan bahaya yang bisa ia lihat, tapi bahaya yang bisa ia rasakan merayap di udara.

Lihat selengkapnya