Keamanan adalah sebuah ilusi. Dinding beton dan pintu besi yang tergembok dari dalam mungkin bisa menahan monster di luar, tapi mereka sama sekali tidak berdaya melawan monster yang sudah berada di dalam. Dan di mata Ravi, monster itu sedang duduk gemetar di sudut ruangan, memeluk lengannya yang terluka seolah itu adalah bom yang siap meledak.
Keheningan di dalam ruko terasa lebih memekakkan telinga daripada jeritan di luar. Itu adalah keheningan yang sarat dengan napas yang tertahan, detak jantung yang menggila, dan suara gesekan kain saat Bimo menggigil hebat. Perban darurat dari kaus Orion sudah basah oleh darah kehitaman. Wajah Bimo pucat seperti mayat, diselingi bercak-bercak merah karena demam tinggi yang mulai membakarnya dari dalam.
Ravi adalah yang pertama memecah keheningan itu. "Kita harus mengeluarkannya," katanya, suaranya serak dan tajam. Ia berdiri di sisi terjauh ruangan, tangannya mencengkeram sebuah kaki meja kayu yang ia patahkan sebagai senjata darurat. "Sekarang."
"Tutup mulutmu, Ravi," balas Jean, suaranya bergetar karena marah dan takut. Ia sedang berjongkok beberapa meter dari Bimo, tidak berani terlalu dekat, tetapi juga menolak untuk menjauh.
"Tutup mulutku? Kamu lihat dia, Jean!" Ravi menunjuk dengan senjatanya. "Dia berkeringat, demam, menggigil! Itu semua tandanya! Kita punya waktu beberapa menit, mungkin satu jam, sebelum dia bangkit dan mencoba merobek leher kita!"
"Kita enggak tahu itu!" sentak Orion, melangkah maju untuk berdiri di antara Ravi dan Bimo. Ia menjadi tembok pemisah. "Kita enggak tahu apa-apa tentang ... makhluk ini."
"Aku tahu apa yang kulihat!" teriak Ravi, matanya membelalak panik. "Aku melihat Pak Tirtayasa! Aku melihat anak-anak lain! Semuanya dimulai seperti ini! Kamu mau menunggu sampai giginya menancap di lehermu sebelum kamu sadar aku benar, Orion?"
Di tengah pertikaian itu, Elena, yang bersandar dengan tenang di dinding dekat pintu, angkat bicara. Nadanya dingin dan analitis, seolah ia sedang mengomentari sebuah eksperimen laboratorium. "Kepanikan enggak akan membantu. Kita butuh kepastian," katanya, matanya yang tajam tertuju pada Bimo. "Sudah berapa lama sejak gigitan itu? Dua puluh menit? Tiga puluh?"
Pertanyaan itu membuat semua orang terdiam. Rasanya sudah seumur hidup.
"Dia benar," kata Jean pelan, mencoba mengendalikan gemetar di tangannya. "Kita enggak bisa membuat keputusan berdasarkan asumsi. Kita harus mengamati."
"Mengamati?!" Ravi tertawa histeris. "Mudah bagimu untuk bicara, Jean! Bukan kamu yang hampir mati di gang tadi! Kalau bukan karena Orion, aku ..." Ia berhenti, menatap Orion dengan campuran rasa terima kasih dan kebencian yang aneh.
Orion menghela napas, rasa lelah yang menusuk tulang mulai menjalari tubuhnya. Beban dari empat nyawa lain terasa begitu berat di pundaknya. Ia menatap Bimo, yang kini mulai meracau pelan, menyebut nama ibunya. Dia bukan monster. Dia adalah seorang anak laki-laki yang ketakutan. Kakeknya pernah berkata, "Silat bukan hanya tentang mengalahkan lawan, tapi tentang menjaga keseimbangan. Terutama keseimbangan di dalam dirimu sendiri." Dan saat ini, batinnya sedang berperang hebat antara insting bertahan hidup yang kejam dan moralitas yang ia pegang teguh.
"Enggak ada yang akan dikeluarkan," kata Orion akhirnya, suaranya mantap dan enggak menyisakan ruang untuk perdebatan. "Kita enggak akan meninggalkan siapa pun. Enggak kayak begini." Ia menatap tajam ke arah Ravi. "Tapi kita juga enggak boleh bodoh."
Ia menoleh ke sekeliling ruko yang remang-remang itu. Lantai satu adalah sebuah ruangan besar yang kosong, dengan tangga kayu reyot di sudut yang menuju ke atas. "Kita bawa dia ke lantai dua. Kita bisa menguncinya di salah satu ruangan. Kita bisa mengawasinya dari jarak yang aman. Kita memberinya kesempatan. Itu keputusan final."
Ravi tampak ingin memprotes, tapi tatapan mata Orion yang dingin membuatnya menelan kembali kata-katanya. Ia hanya mengangguk kaku, mencengkeram kaki mejanya lebih erat.
Membawa Bimo ke lantai dua adalah sebuah siksaan. Tubuhnya lemas karena demam dan ia merintih kesakitan setiap kali lengannya tersenggol. Orion dan Ravi terpaksa bekerja sama, memapah tubuhnya yang berat menaiki setiap anak tangga yang berderit. Ketegangan di antara mereka begitu kental hingga terasa seperti dinding ketiga yang memisahkan mereka.
Lantai dua adalah sebuah kejutan. Ruangan itu luas dan terbuka, lantainya dilapisi oleh matras tatami Jepang yang sudah usang dan berdebu. Dindingnya dihiasi oleh beberapa senjata latihan kayu. Ada bokken, tongkat bo dan sebuah kaligrafi kanji besar yang berarti "Keseimbangan". Ini adalah sisa-sisa dojo sementara milik kakek Orion. Sebuah hantu dari masa lalu yang damai, dan kakeknya-lah yang menjadi inspirasi untuk Orion menggeluti dunia pencak silat.
Di salah satu sudut, ada sebuah kamar kecil, mungkin bekas kantor. "Di sana," kata Orion.
Mereka membaringkan Bimo di lantai kayu yang dingin di dalam kamar itu. Jean menyusul, membawa kotak P3K kecil yang secara ajaib ia temukan di bawah meja kasir tua di lantai satu. "Kita harus membersihkan lukanya," katanya.
"Jangan sentuh dia!" sentak Ravi dari ambang pintu.
"Luka itu bisa infeksi biasa, Ravi! Terlepas dari ... yang lainnya," balas Jean. Dengan keberanian yang dipaksakan, ia berlutut di samping Bimo. Elena berdiri di belakangnya, mengamati dengan rasa ingin tahu yang aneh.