Fajar di dalam ruko tua itu datang dengan seberkas sinar kelabu pucat yang menembus jendela kotor di lantai tiga. Ia datang tanpa kicau burung, hanya diiringi oleh keheningan aneh yang sesekali dipecah oleh erangan jauh atau suara logam yang diseret di aspal. Orion terbangun di lantai kayu yang keras, punggungnya sakit, dan rasa dingin yang aneh menusuk tulangnya. Untuk sesaat, ia lupa di mana ia berada. Ia mengira sedang berada di dojo setelah latihan malam yang berat, menunggu ada yang membangunkannya.
Lalu, ingatan itu menghantamnya seperti gelombang pasang. Halaman sekolah. Jeritan primitif. Darah. Gerbang yang terkunci. Bau anyir dan ozon. Jean. Bimo.
Ia langsung terduduk. Matanya dengan panik memindai ruangan remang-remang di lantai dua. Jean tertidur beberapa meter darinya, meringkuk di bawah jaket denim Orion, napasnya teratur. Di seberang ruangan, Ravi juga tertidur dalam posisi duduk yang canggung, tongkat kayu masih tergenggam erat di tangannya. Elena tidak terlihat. Tapi pintu kamar tempat Bimo dikurung kini sedikit terbuka.
Jantung Orion serasa berhenti berdetak.
Ia meraih tongkat bo-nya dan bangkit tanpa suara, setiap ototnya menegang. Ia melangkah perlahan menuju kamar itu, mengintip dari celah pintu. Pemandangan di dalam membuatnya terpaku.
Bimo sudah bangun. Ia sedang duduk bersandar di dinding, menatap lengannya yang diperban. Di sampingnya, dengan jarak yang tenang, duduklah Elena. Gadis itu sedang memberikan sebotol air mineral kepada Bimo, yang menerimanya dengan tangan gemetar. Tidak ada ancaman. Tidak ada kekerasan. Hanya ada keheningan yang canggung.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Elena pelan, suaranya tidak terdengar di lorong, tapi Orion bisa membaca gerak bibirnya.
Bimo menelan air dengan susah payah. "Lapar," jawabnya lirih. "Dan lenganku ... rasanya aneh. Seperti kesemutan, tapi sakit."
Lapar. Kata yang begitu normal, begitu manusiawi, hingga terasa absurd di tengah kiamat.
Orion mendorong pintu hingga terbuka sepenuhnya. Suara deritnya membuat Bimo dan Elena menoleh. Mata Bimo membelalak ketakutan saat melihat Orion, seolah ia mengira Orion akan datang untuk menghabisinya.
"Dia sadar," kata Elena pada Orion, nadanya datar. "Enggak ada tanda-tanda agresi. Denyut nadinya cepat, tapi stabil. Demamnya sudah turun total."
Orion perlahan-lahan menurunkan tongkatnya. Ia menatap Bimo, benar-benar menatapnya. Mata anak itu jernih, tidak ada warna merah. Wajahnya pucat dan lelah, tapi itu adalah wajah Bimo yang ia kenal. Jean dan Ravi terbangun oleh suara itu, dan kini mereka juga berdiri di ambang pintu, menyaksikan adegan yang sama.
"Bimo?" panggil Jean lembut.
Bimo menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Aku enggak berubah," bisiknya, suaranya pecah. "Aku enggak tahu kenapa, tapi aku enggak berubah."
Ravi menatap pemandangan itu dengan mulut ternganga, tongkat kayunya terkulai lemas di sisinya. Semua teori, semua kepanikan, semua keyakinan mutlaknya tentang "digigit berarti selesai" hancur berkeping-keping. Ia tidak tahu harus merasakan apa: lega, bingung, atau justru lebih takut pada sesuatu yang tidak ia pahami ini.
Rasa lapar Bimo ternyata menular. Begitu kata itu diucapkan, perut mereka semua seolah serempak berbunyi, mengingatkan mereka bahwa adrenalin tidak bisa menjadi bahan bakar selamanya. Mereka adalah manusia biasa yang terperangkap dalam situasi luar biasa, dan mereka butuh makan. Mereka butuh minum.
Kenyataan baru itu menjadi agenda rapat pertama mereka di dunia yang baru.
"Kita enggak punya apa-apa," kata Jean, suaranya praktis. Ia sudah memeriksa setiap laci dan lemari di dapur kecil di lantai tiga. Hasilnya: beberapa bungkus teh basi, sebungkus gula yang sudah mengeras jadi batu, dan sebotol saus tomat yang sudah kedaluwarsa. "Air di keran juga mati."
Mereka duduk melingkar di lantai dua yang berdebu. Bimo, yang sudah sedikit lebih tenang, duduk di tengah, masih memegangi lengannya. Ia bukan lagi seorang terdakwa yang menunggu eksekusi, melainkan sebuah artefak aneh yang menjadi pusat perhatian.
"Minimarket di seberang jalan," kata Orion, memecah keheningan. "Kita lihat sendiri semalam. Para Jangkitan berhasil masuk, tapi pasti ada sisa yang bisa diambil. Air minum kemasan. Makanan kaleng. Biskuit. Apa saja."
"Kita mau keluar ke sana?" tanya Ravi, rasa takutnya kembali menjalari suaranya. "Itu sarang mereka!"
"Kita enggak punya pilihan," balas Orion tegas. "Kita enggak bisa bertahan di sini lebih dari satu hari tanpa air. Kita akan dehidrasi sebelum para Jangkitan berhasil mendobrak masuk."
Elena mengangguk setuju. "Dia benar. Risiko dehidrasi lebih cepat dan lebih pasti daripada risiko diserang jika kita bergerak dengan cerdas." Ia menatap Bimo dengan tatapan penuh perhitungan. "Dan kita perlu tahu lebih banyak tentang kondisi teman kita ini. Makanan mungkin bisa memulihkan kekuatannya."