Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #6

Logika Monster dan Bisikan di Dalam

Pintu besi itu terbanting menutup dengan bunyi dentang yang menggema, seolah menjadi titik final dari pelarian mereka. Orion langsung mendorong lemari arsip kembali ke tempatnya, sementara Ravi, dengan wajah pucat, membantu mengganjal bagian bawah pintu dengan pipa-pipa lepas yang mereka temukan. Untuk sesaat, dunia kembali teredam. Hanya suara napas mereka yang tersengal-sengal dan detak jantung yang memukul-mukul gendang telinga.

Jean menjatuhkan tas ransel yang berat itu ke lantai. Bunyi botol-botol air yang beradu adalah musik terindah yang pernah mereka dengar. Ia bersandar di dinding, kakinya lemas, mencoba mengatur napas sambil memejamkan mata. Tapi bayangan minimarket itu, lorong-lorong hantu, mayat sang satpam, dan makhluk yang menumpuk kaleng terus berputar di benaknya.

"Kalian berhasil!" seru Bimo, suaranya campuran antara lega dan cemas. Ia, bersama Elena, menyambut mereka di dekat tangga.

"Air," hanya itu yang bisa dikatakan Jean, menunjuk ke arah tas.

Elena dengan sigap membuka ransel itu dan mulai mengeluarkan botol-botol air. Ia membagikannya satu per satu. Tidak ada yang menunggu. Mereka semua membuka tutup botol dan minum dengan rakus, membiarkan air yang sejuk itu membasahi tenggorokan mereka yang kering karena dehidrasi dan ketakutan. Itu adalah tegukan pertama dari kehidupan normal yang terasa begitu asing.

"Apa yang terjadi di luar? Kalian lama sekali," tanya Ravi, setelah menghabiskan setengah isi botolnya dalam sekali teguk. Matanya menatap Orion dan Jean, mencari tanda-tanda luka.

Orion menggelengkan kepalanya, masih mencoba menenangkan debar jantungnya. "Enggak semudah itu," katanya. Ia menceritakan semuanya. Tentang minimarket yang hancur, mayat di dalamnya, dan yang paling penting, tentang Jangkitan perempuan yang mereka temukan di lorong belakang.

Saat Orion mendeskripsikan bagaimana makhluk itu dengan kaku menumpuk kaleng semir sepatu, ruangan itu menjadi sunyi senyap.

"Menumpuk kaleng?" ulang Ravi, dahinya berkerut tak percaya. "Apa maksudmu? Seperti ... sedang bekerja?"

"Aku enggak tahu," sahut Orion. "Gerakannya seperti robot rusak. Seperti ada ingatan dari kehidupan lamanya yang masih tersisa, sebuah program yang terus berulang tanpa tujuan."

"Itu enggak masuk akal," kata Ravi, menggelengkan kepalanya. "Mereka itu binatang buas. Mereka membunuh Pak Tirtayasa. Mereka enggak ... merapikan rak."

"Tapi kami melihatnya dengan mata kepala kami sendiri," timpal Jean, suaranya kini lebih kuat. "Dan saat kami enggak sengaja menjatuhkan kaleng, ritualnya terganggu. Dia ... marah. Jeritannya berbeda. Bukan seperti geraman lapar, tapi lebih seperti ... pekikan frustrasi. Dan yang lain menjawab panggilannya."

Penjelasan Jean membuat bulu kuduk mereka berdiri. Gagasan tentang monster yang bisa berpikir, bahkan dalam bentuk yang paling primitif sekalipun, jauh lebih menakutkan daripada sekadar makhluk buas yang didorong oleh insting. Binatang buas bisa diprediksi. Tapi sesuatu yang memiliki sisa-sisa kecerdasan? Sesuatu yang bisa berkomunikasi? Itu adalah level ancaman yang sama sekali baru.

"Ini mengubah segalanya," bisik Elena, matanya berkilat dengan minat yang dingin. Ia menatap ke angkasa kosong, seolah sedang menyusun sebuah hipotesis. "Jika mereka bisa mempertahankan sisa-sisa ingatan motorik, mungkin ada struktur komando. Mungkin ada ... hierarki. Yang kita lihat itu mungkin bukan sekadar pekerja, tapi semacam ... pengawas?"

Teori Elena yang liar dan mengerikan itu membuat suasana semakin tegang. Mereka bukan lagi sekadar lari dari sekumpulan anjing gila. Mereka mungkin sedang berhadapan dengan awal dari sebuah peradaban monster yang baru.

Perhatian di ruangan itu kemudian secara alami beralih dari anomali di luar ke anomali yang berada di dalam. Semua mata kembali tertuju pada Bimo.

"Biar aku lihat lukamu," kata Elena, melangkah mendekati Bimo.

Bimo secara refleks beringsut mundur, tubuhnya menempel ke dinding. "Enggak apa-apa. Sudah lebih baik," katanya cepat. Sejak bangun, ia sangat sensitif terhadap tatapan orang lain, terutama tatapan Elena yang terasa seperti pisau bedah.

"Aku hanya ingin memeriksa," kata Elena dengan senyum yang dipaksakan, yang sama sekali enggak mencapai matanya. "Kita perlu tahu bagaimana tubuhmu merespons. Ini penting."

"Biar aku saja," kata Jean, melangkah maju dan menempatkan dirinya di antara Elena dan Bimo. Ia memberikan tatapan tajam pada Elena sebelum berlutut di depan Bimo dengan sikap yang jauh lebih lembut. "Boleh, Bimo? Aku enggak akan menyakitimu. Kita hanya perlu memastikan lukanya enggak infeksi."

Lihat selengkapnya