SREEEKKK ... KREKKK ...
Suara itu adalah antitesis dari jeritan primitif. Jika jeritan adalah ledakan insting yang panas dan membabi buta, suara ini adalah sesuatu yang lain. Dingin, sabar, dan penuh tujuan. Itu adalah suara dari sebuah kecerdasan yang mengerikan, yang sedang bekerja dalam kegelapan untuk membongkar cangkang perlindungan mereka lapis demi lapis.
Kelima remaja itu membeku di puncak tangga lantai dua, berubah menjadi patung-patung yang diukir dari rasa takut. Setiap gesekan logam di beton dari lantai bawah terasa seperti kuku yang digoreskan di papan tulis jiwa mereka. Bimo menutup mulutnya dengan kedua tangan untuk menahan isakan. Ravi gemetar begitu hebat hingga tongkat kayu di tangannya bergetar, menciptakan bunyi ketukan pelan di lantai. Bahkan Elena, untuk pertama kalinya, kehilangan ketenangan khasnya; matanya membelalak, fokus pada kegelapan di bawah seolah ia bisa melihat ancaman itu dengan menembus lantai kayu.
"Itu ... itu enggak mungkin," bisik Ravi, suaranya nyaris tak terdengar. "Mereka enggak bisa ... berpikir."
"Yang di minimarket tadi juga enggak seharusnya bisa menumpuk kaleng," balas Jean, suaranya sama pelannya, tapi lebih tajam. "Kita harus berhenti berasumsi kita tahu apa yang kita hadapi."
Orion tidak ikut berdebat. Pikirannya berpacu. Mereka buta. Mereka tidak bisa melihat apa yang terjadi di pintu depan dari posisi mereka. Bertahan dalam ketidaktahuan adalah cara paling cepat untuk mati.
"Aku butuh mata," katanya, memecah ketakutan mereka dengan nada perintah yang tenang. "Jean, ikut aku. Ke lantai tiga. Jendela depan."
"Jangan," cegah Ravi, meraih lengan Orion. "Terlalu berisiko. Bagaimana jika ada yang lain di atas sana?"
"Risiko yang lebih besar adalah menunggu di sini sampai pintu itu jebol," balas Orion tegas, melepaskan cengkeraman Ravi. "Elena, bawa Bimo dan Ravi ke belakang, menjauh dari tangga. Siapkan apa saja yang bisa jadi senjata. Kami hanya sebentar."
Elena mengangguk, kali ini tanpa argumen. Ia menarik Bimo yang hampir lumpuh karena takut, dan memberi isyarat pada Ravi untuk mengikutinya.
Orion dan Jean mulai menaiki tangga ke lantai tiga, setiap langkah mereka terasa seringan bulu. Lantai kayu berderit pelan di bawah kaki mereka, suara yang terdengar seperti ledakan di tengah keheningan yang mencekam. Suara gesekan dari bawah terus berlanjut, tanpa henti, sebuah irama kerja yang mengerikan.
Apartemen kecil di lantai tiga terasa lebih dingin dari sebelumnya. Cahaya bulan yang pucat menerobos masuk melalui jendela besar yang kotor, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari seperti hantu. Mereka merayap di lantai, tetap berada di bawah ambang jendela, mendekat perlahan seperti dua prajurit di wilayah musuh.
Saat mencapai tepi jendela, Orion memberi isyarat. Tiga ... dua ... satu ...
Mereka mengangkat kepala mereka serempak, hanya cukup untuk melihat ke jalanan di bawah.
Pemandangan itu membuat darah mereka terasa dingin.
Hanya ada satu Jangkitan. Ia berdiri tepat di depan pintu besi ruko mereka. Gerakannya kaku, tapi penuh tujuan. Di tangannya, ia memegang sebatang pipa logam panjang. Mungkin bagian dari papan reklame yang roboh. Dengan kesabaran yang tidak wajar, ia menggunakan pipa itu sebagai linggis, mencoba mencari celah di bagian bawah pintu besi untuk mencongkelnya.
Dan wajahnya ... meskipun pucat dan berurat hitam, Orion dan Jean bisa mengenalinya di bawah cahaya bulan. Itu adalah wajah perempuan yang sama. Jangkitan yang menumpuk kaleng semir sepatu di minimarket.
Makhluk itu mengingat mereka. Makhluk itu melacak mereka. Makhluk itu mengikuti mereka pulang.
Kesadaran itu menghantam mereka lebih keras daripada pukulan fisik manapun. Ini bukan serangan acak. Mereka sedang diburu.
Tanpa perlu berkata-kata, mereka merunduk kembali, menjauh dari jendela. Jantung Jean berdebar begitu kencang hingga ia takut makhluk di bawah sana bisa mendengarnya.
"Dia tahu kita di sini," bisik Jean, suaranya bergetar. "Dia cerdas, Orion. Dia menggunakan alat."
Orion mengangguk, pikirannya berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Pintu besi itu kokoh, tapi tidak akan bertahan selamanya melawan linggis darurat dan kesabaran yang tak terbatas. Mereka tidak bisa keluar lewat pintu belakang; gang itu mungkin sudah diawasi. Mereka terperangkap.
"Kalau kita enggak bisa keluar," kata Orion pelan, sebuah ide gila mulai terbentuk di benaknya, "maka kita harus menyerang dari atas."