Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #9

Kompas yang Retak

Kemenangan terasa hampa.

Rasa lega yang sempat meledak di dada mereka lenyap secepat embusan angin malam, digantikan oleh keheningan yang dingin dan berat. Dari jendela lantai dua yang kini menganga, mereka berlima menatap ke bawah, ke trotoar yang diterangi cahaya bulan pucat. Di sana, di bawah bangkai televisi yang hancur, tergeletak tubuh remuk sang Jangkitan. Dan di sampingnya, terukir jelas di atas beton, sebuah simbol yang digambar dengan darahnya sendiri: lingkaran dengan titik di tengah.

Itu bukan sekadar noda. Itu adalah sebuah pernyataan. Sebuah tanda.

"Apa ... apa artinya itu?" bisik Bimo, suaranya gemetar. Ia menatap simbol itu dengan mata terbelalak, seolah itu adalah vonis mati yang ditulis khusus untuknya.

Tidak ada yang menjawab. Ravi hanya bisa menggelengkan kepalanya perlahan, wajahnya pucat pasi. Jean menyipitkan matanya, otaknya yang analitis mencoba memproses, mencari pola atau makna dalam bentuk sederhana yang mengerikan itu. Orion mengepalkan tangannya erat-erat, rahangnya mengeras. Ia tidak melihat sebuah simbol; ia melihat sebuah pesan taktis. Sebuah panah yang menunjuk lurus ke arah mereka.

Hanya Elena yang tampak ... terpesona. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih jauh, tatapannya intens, seolah sedang mengamati sebuah artefak kuno yang baru ditemukan. Tanpa mengalihkan pandangan, ia merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya, dan dengan cepat menyalin simbol itu ke dalam buku catatan digitalnya.

"Kita harus menutup jendela ini lagi," kata Orion akhirnya, suaranya serak, memecah mantra kengerian itu.

Tugas yang tadinya mereka lakukan dengan penuh perhitungan dan ketakutan, kini mereka ulangi dengan perasaan suram yang menekan. Bekerja dalam keheningan, mereka mengangkat kembali papan kayu besar itu dan mengganjalnya dengan pipa besi. Benteng mereka kembali utuh. Tapi ilusi keamanan telah hancur selamanya. Dinding dan pintu mungkin bisa menahan cakar dan gigi, tapi mereka tidak berdaya melawan musuh yang bisa berpikir, yang bisa meninggalkan pesan. Ruko itu tidak lagi terasa seperti benteng; ia terasa seperti target yang sudah ditandai.

Mereka mundur dari jendela, kembali ke tengah ruangan yang remang-remang. Tapi bayangan simbol itu seolah tercetak di belakang kelopak mata mereka, sebuah noda darah yang tak akan pernah bisa dihapus.

Perdebatan pecah bahkan sebelum mereka semua sempat duduk.

"Kita harus pergi," kata Ravi, suaranya nyaris panik. Ia mondar-mandir di ruangan itu seperti binatang yang terperangkap. "Sekarang juga. Subuh nanti, kita harus pergi dari sini!"

"Pergi ke mana, Ravi?" balas Jean, mencoba sabar. "Ke jalanan? Ke tempat terbuka? Kamu lihat sendiri di luar sana!"

"Aku enggak peduli! Ke mana saja asal bukan di sini!" seru Ravi, menunjuk ke arah jendela yang sudah ditutup. "Benda itu menandai kita! Itu seperti ... lampu yang memanggil teman-temannya! Setiap detik kita berada di sini, semakin banyak dari mereka yang akan datang!"

"Teori yang logis," sela Elena, yang sudah kembali tenang dan duduk bersandar di dinding. "Simbol itu kemungkinan besar bukan pesan untuk kita. Itu adalah penanda teritorial atau suar penunjuk arah untuk mereka. Seperti semut yang meninggalkan jejak feromon menuju sumber makanan."

Analogi Elena yang dingin itu membuat Bimo tersentak. "Sumber makanan ... Maksudmu ... aku?" bisiknya, matanya dipenuhi teror baru. "Mereka datang karena aku?"

Lihat selengkapnya