Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #10

Benang Tajam Harapan

Fajar ketiga datang tanpa janji. Ia hanya menggantikan kegelapan pekat dengan cahaya kelabu yang menyedihkan, menyoroti debu yang menari di udara dan wajah-wajah lelah yang tergeletak di lantai ruko. Tidur tidak memberikan istirahat, hanya jeda singkat dari mimpi buruk yang menunggu mereka saat terjaga. Simbol darah di luar sana seolah membakar bayangannya ke dalam pikiran mereka, sebuah pengingat konstan bahwa benteng mereka telah ditandai.

Jean adalah yang pertama membagikan jatah sarapan: dua keping biskuit dan beberapa teguk air untuk masing-masing. Mereka makan dalam keheningan yang lebih berat dari malam sebelumnya. Perdebatan sengit semalam telah meninggalkan retakan yang dalam di antara mereka. Ravi duduk menyendiri di sudut, menghindari tatapan mata Orion. Bimo makan dengan perlahan, rasa bersalah membuatnya sulit menelan. Elena tampak seperti biasa, mengamati interaksi mereka dengan ketenangan seekor predator.

Orion tahu keheningan ini lebih berbahaya daripada teriakan. Itu adalah keheningan dari keputusasaan yang mulai mengakar. Ia harus mematahkannya.

"Kita enggak bisa menunggu mereka datang kembali," kata Orion, suaranya memecah kesunyian. Semua orang menatapnya. "Semalam kita bertahan. Tapi kita enggak bisa terus-menerus bertahan. Kita butuh rencana untuk keluar dari sini. Kita butuh tujuan."

"Aku sudah bilang, kita harus pergi," gerutu Ravi tanpa mengangkat kepala.

"Pergi bukan rencana," balas Orion sabar. "Itu hanya bergerak. Aku bicara soal tujuan yang jelas. Tempat yang lebih aman, punya komunikasi, mungkin senjata." Ia berhenti sejenak, membiarkan ide itu meresap. "Markas polisi pusat di Jalan Kapten Muslihat."

Ide itu menggantung di udara. Kantor polisi. Sebuah simbol otoritas dan keamanan dari dunia lama.

"Pasti sudah hancur," kata Ravi sinis. "Atau lebih buruk, sudah jadi sarang mereka."

"Mungkin," sahut Jean, mendukung Orion. "Tapi itu juga tempat di mana kita paling mungkin menemukan senjata api, radio komunikasi jarak jauh, dan mungkin kendaraan lapis baja. Secara logis, itu adalah target pertama yang paling masuk akal."

"Logika enggak berlaku lagi, Jean!" balas Ravi.

"Justru sekaranglah saatnya kita harus berpegang pada logika," sela Elena, mengejutkan semua orang. "Aku setuju dengan Orion dan Jean. Kantor polisi adalah target dengan potensi keuntungan tertinggi. Tapi," ia menambahkan, "kita enggak bisa pergi buta. Kita enggak tahu apa yang terjadi di seluruh kota. Kita butuh informasi."

Elena benar. Mereka terkurung dalam gelembung kecil ketidaktahuan mereka. Melangkah keluar tanpa memahami medan perang adalah sebuah kegilaan. Pencarian mereka akan harapan kini berubah menjadi pencarian akan pengetahuan.

Pencarian itu membawa Jean dan Ravi ke lantai tiga. Sementara Orion, Elena, dan Bimo berjaga di bawah, keduanya ditugaskan untuk menggeledah setiap sudut apartemen tua yang ditinggalkan itu, mencari apa saja yang bisa berguna. Awalnya mereka bekerja dalam keheningan yang canggung, membuka lemari-lemari yang hanya berisi pakaian usang dan tumpukan majalah lama.

"Aku minta maaf," kata Ravi pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

Jean berhenti menggeledah sebuah laci. "Untuk apa?"

"Semalam. Aku ... aku hanya panik," katanya, menolak untuk menatap Jean. "Aku takut ... terjadi sesuatu padamu."

"Kita semua takut, Ravi," jawab Jean lembut. "Tapi panik enggak akan membuat kita aman. Orion hanya mencoba melindungi kita semua."

Lihat selengkapnya