Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #11

Peta Menuju Neraka

Sinar matahari yang menerobos jendela lantai tiga tidak membawa kehangatan, hanya menyoroti partikel debu di udara dan kelelahan yang terukir di wajah mereka. Keputusan telah dibuat di tengah malam, di bawah tekanan rasa takut dan secercah harapan palsu dari radio. Kini, di bawah cahaya pagi yang brutal, rencana itu terasa seperti sebuah surat wasiat.

Suasana di dalam ruko berubah. Ketakutan yang pasif telah menguap, digantikan oleh energi gugup dari persiapan. Jean, dengan wajah serius, membagi sisa-sisa perbekalan mereka. Masing-masing mendapat satu botol air kecil dan beberapa keping biskuit terakhir. "Ini harus cukup sampai kita menemukan yang baru," katanya, nadanya tidak menyisakan ruang untuk keluhan. Itu bukan sarapan; itu adalah bahan bakar.

Mereka mempersenjatai diri. Orion tetap dengan tongkat bo-nya yang panjang dan seimbang. Jean memegang pipa besi, terasa canggung dan berat dibandingkan busur yang biasa ia genggam. Ravi memilih pisau dapur besar dari lantai atas, mencengkeramnya dengan buku-buku jari yang memutih. Elena menemukan palu kecil di kotak peralatan, sebuah alat yang ironisnya tidak mereka gunakan untuk membangun, melainkan untuk menghancurkan. Bimo, dengan ragu, mengambil kunci inggris berat yang pernah digunakan Elena. Benda itu terasa asing dan mematikan di tangannya.

Orion membentangkan peta kota yang lecek itu di lantai. Ujung-ujungnya sudah sobek dan ada noda kopi lama di bagian tengahnya. Dengan spidol merah yang hampir kering milik Elena, ia menggambar rute mereka.

"Kita di sini," katanya, mengetuk sebuah titik di Jalan Bangbarung. "Kantor polisi pusat di sini," ia menggambar sebuah lingkaran di Jalan Kapten Muslihat. "Kita tidak bisa lewat jalan raya. Terlalu terbuka. Kita akan gunakan jaringan gang di belakang ruko-ruko ini, bergerak ke selatan, menyeberangi rel kereta, lalu menyusuri pinggir Kebun Raya. Itu rute teraman yang bisa kupikirkan."

Ravi mendengus pelan, tapi tidak membantah. Perdebatan sudah selesai. Sekarang yang tersisa hanyalah kepatuhan yang dipaksakan oleh keinginan untuk bertahan hidup.

"Ingat," lanjut Orion, menatap mereka satu per satu, tatapannya berhenti paling lama pada Jean. "Kita bergerak cepat dan senyap. Tidak ada percakapan yang tidak perlu. Mata dan telinga selalu waspada. Jika bertemu satu atau dua Jangkitan, kita lumpuhkan tanpa suara jika bisa. Jika bertemu lebih dari itu, kita lari dan cari rute lain. Jangan jadi pahlawan. Tujuannya bukan bertarung, tujuannya adalah sampai. Mengerti?"

Semua mengangguk.

Sebelum mereka membuka pintu, ada jeda keheningan yang berat. Mereka saling pandang, lima remaja yang dunianya telah direnggut dalam sekejap. Ruko ini, yang selama dua hari menjadi penjara yang membuat panik dan tersiksa di ruang sempit, kini terasa seperti satu-satunya rumah yang mereka miliki. Meninggalkannya terasa seperti melompat dari tebing ke lautan yang penuh hiu. Orion mengintip melalui celah di pintu besi. Simbol darah itu masih di sana, sudah mengering menjadi noda cokelat kehitaman yang jelek. Sebuah pengingat akan apa yang menunggu mereka di luar.

"Sekarang atau tidak sama sekali," bisik Orion.

Dengan tenaga gabungan, mereka menyingkirkan barikade. Pintu besi itu berderit terbuka, memuntahkan mereka dari kegelapan yang relatif aman ke dalam cahaya dunia yang telah mati.

***

Udara luar terasa aneh. Segar, namun tercemar oleh bau samar asap dan pembusukan. Kota Bogor terasa seperti sebuah makam raksasa. Sunyi. Terlalu sunyi. Keheningan itu jauh lebih menakutkan daripada jeritan-jeritan di hari pertama. Ini adalah keheningan dari sebuah ekosistem di mana para pemangsa tidak perlu lagi bersuara untuk berburu.

Mereka bergerak dalam formasi. Orion di depan, memimpin jalan. Jean di belakangnya, matanya terus memindai atap dan jendela gedung di sekitar mereka. Bimo dan Elena di tengah, dilindungi. Ravi di belakang, menjaga punggung mereka, rasa ketakutan membuatnya terus-menerus menoleh ke belakang.

Gang-gang di belakang deretan ruko adalah dunia yang berbeda. Sempit, gelap, dan penuh dengan sampah dari kehidupan yang dibuang begitu saja. Mereka bergerak cepat, langkah mereka diredam oleh tumpukan kardus dan plastik. Ini adalah wilayah kekuasaan tikus dan kecoa, tapi setidaknya aman dari pandangan.

Saat mereka keluar dari sebuah gang menuju jalan yang sedikit lebih besar, Jean tiba-tiba berhenti, mengangkat tangannya. Semua orang membeku. Jean menunjuk ke dinding sebuah toko kelontong di seberang jalan. Di sana, digambar dengan sesuatu yang tampak seperti cat semprot merah, ada simbol yang sama: lingkaran dengan titik di tengah.

Jantung mereka serasa mencelos. Ini bukan lagi sebuah anomali. Ini adalah pola.

"Mereka ... menandai wilayah?" bisik Ravi ngeri.

"Atau jalan patroli mereka," balas Elena, matanya memindai lingkungan sekitar dengan cepat. "Seperti serigala yang menandai jalurnya."

Lihat selengkapnya