Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #12

Sumur di Dasar Keputusasaan

Adrenalin adalah bahan bakar yang cepat habis. Begitu mereka aman di seberang jembatan yang putus, sisa-sisa energi terakhir yang menopang mereka seolah menguap ke udara pagi yang kelabu. Yang tersisa hanyalah rasa sakit, lapar, haus, dan kekalahan yang telak. Mereka tidak hanya kehilangan perbekalan; mereka kehilangan arah, kehilangan rencana, kehilangan ilusi tipis bahwa mereka bisa mengendalikan nasib mereka.

Ravi adalah yang pertama meledak. Tawa getir keluar dari bibirnya, lebih terdengar seperti isak tangis yang marah. "Rencana yang hebat, Orion!" serunya, menatap tajam ke arah Orion yang sedang bersandar di pagar jembatan, terengah-engah. "Benar-benar rencana yang hebat! Aku sudah bilang kita harus lari! Tapi tidak, sang pemimpin harus punya 'rencana'! Dan sekarang lihat kita! Tersesat, tanpa makanan, tanpa air! Selamat!"

Setiap kata adalah tamparan. Orion tidak membalas. Ia hanya menunduk, menatap arus sungai yang deras di bawah, tempat ransel harapan mereka ditelan tanpa jejak. Beban kegagalan ini terasa lebih berat daripada semua kelelahan fisiknya. Untuk pertama kalinya sejak kiamat dimulai, sang pemimpin tampak kalah.

"Hentikan, Ravi," kata Jean, suaranya lelah. "Menyalahkan enggak akan mengisi perut kita."

"Oh, tentu saja kamu akan membelanya!" balas Ravi sinis. "Kalian berdua! Tim yang hebat! Lihat saja hasil kerja tim kalian!"

"Setidaknya kami melakukan sesuatu!" teriak Jean, emosinya akhirnya pecah. "Sementara kamu hanya bisa mengeluh dan ketakutan!"

Perdebatan itu bisa saja berlanjut menjadi pertengkaran hebat, jika bukan karena Elena. "Jika kalian sudah selesai melolong seperti anjing berebut tulang," katanya dingin, matanya yang tajam memindai lingkungan baru mereka, "aku sarankan kita mencari tempat berlindung sebelum penghuni asli tempat ini menyadari kehadiran kita."

Kata-katanya yang menusuk itu berhasil membungkam mereka. Dia benar. Bertengkar di tempat terbuka adalah undangan untuk mati. Dengan langkah gontai dan semangat yang hancur, mereka meninggalkan jembatan, masuk lebih dalam ke bagian kota yang tidak mereka kenali. Ini adalah area perumahan yang lebih tua, jalanannya lebih sempit, dan rumah-rumahnya memiliki halaman yang rimbun. Terasa lebih sunyi, lebih mati daripada pusat kota.

Setelah berjalan selama lima belas menit, mereka menemukannya. Sebuah rumah paviliun kecil, tersembunyi di ujung jalan buntu, diapit oleh dua rumah besar yang tampak kosong. Pagarnya rendah dan sedikit miring, tamannya tidak terawat, dan cat dindingnya sudah mengelupas. Rumah itu tampak terlupakan, bahkan sebelum dunia berakhir. Itu sempurna.

Orion memaksa membuka gerendel pagar yang berkarat. Pintu depan rumah itu terkunci, tapi sebuah jendela samping kacanya sudah pecah. Dengan hati-hati, ia membersihkan sisa-sisa kaca dan masuk ke dalam, diikuti oleh yang lain.

Bagian dalamnya gelap, berdebu, dan berbau apak. Perabotannya ditutupi kain putih, seperti hantu-hantu yang sedang tidur. Tempat ini jelas sudah lama tidak dihuni. Setelah memastikan tidak ada Jangkitan di dalam dan menutup jendela yang pecah itu dengan sebuah lemari buku, mereka akhirnya bisa berhenti. Mereka menjatuhkan diri ke lantai yang dingin, terlalu lelah untuk berbicara. Kekalahan terasa seperti selimut tebal yang menyesakkan.

Rasa haus datang lebih dulu. Jauh lebih kejam daripada rasa lapar. Tenggorokan mereka terasa seperti amplas, dan bibir mereka pecah-pecah. Keinginan akan air menjadi obsesi yang menyiksa, mengalahkan rasa takut dan lelah.

"Keran," desis Ravi, bangkit dengan susah payah dan menuju dapur kecil yang ada di belakang. Yang lain mengikutinya dengan harapan tipis.

Ravi memutar keran di wastafel. Tidak ada yang keluar selain suara desis udara dan beberapa tetes air berwarna karat yang menetes dengan menyedihkan. Mereka mencoba keran di kamar mandi. Hasilnya sama. Jaringan air kota sudah mati total.

Keputusasaan mulai merayap kembali, lebih gelap dari sebelumnya. Mereka bisa bertahan beberapa hari tanpa makanan, tapi tanpa air, mereka akan selesai dalam waktu singkat.

"Pasti ada sesuatu," gumam Jean, menolak untuk menyerah. Ia mulai memeriksa setiap lemari, mencari botol-botol sisa. Tidak ada apa-apa.

Lihat selengkapnya