Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #13

Rumah Hening di Ujung Jalan

Fajar keempat adalah fajar pertama yang membawa harapan palsu. Untuk pertama kalinya, kelompok itu terbangun bukan karena suara erangan dari luar atau mimpi buruk, melainkan karena keheningan. Mereka telah melewati malam tanpa insiden. Televisi yang hancur dan simbol darah di depan ruko terasa seperti kenangan dari kehidupan lain yang jauh. Di dalam rumah paviliun yang terlupakan ini, dengan sumber air yang mengalir di halaman belakang, mereka merasakan secercah keamanan yang belum pernah mereka rasakan.

Pagi itu dihabiskan dalam sebuah rutinitas yang hampir terasa normal. Ravi dan Orion, dalam gencatan senjata yang canggung, bekerja sama melumasi engkol pompa air dengan minyak goreng basi yang mereka temukan di dapur, berhasil mengurangi suara deritnya yang memekakkan telinga secara signifikan. Jean dengan teliti membersihkan dan memeriksa kembali luka Bimo. Luka itu kini benar-benar tertutup, hanya menyisakan bekas luka berwarna merah muda yang halus. Bimo sendiri, meskipun masih trauma, tampak lebih kuat. Ia bahkan bisa tersenyum kecil saat Jean memberinya biskuit kaleng terakhir yang mereka temukan.

"Aku merasa ... baik-baik saja," kata Bimo, lebih pada dirinya sendiri daripada pada orang lain. "Lebih baik dari sebelumnya."

Hanya Elena yang tidak ikut dalam euforia kelegaan itu. Ia menghabiskan paginya berpindah dari satu jendela ke jendela lain, buku catatannya di tangan, matanya yang tajam memindai jalanan yang kosong. Ia tidak mencari bahaya; ia mencari ketiadaan bahaya, dan itu, baginya, adalah anomali yang paling mencurigakan.

"Ada yang aneh," katanya tiba-tiba, saat mereka semua berkumpul di ruang tamu yang berdebu untuk merencanakan langkah selanjutnya.

"Apa lagi sekarang?" tanya Ravi, lelah dengan analisis Elena yang selalu pesimis.

"Para Jangkitan," jawab Elena. "Mereka enggak ada di sini. Maksudku, benar-benar enggak ada. Aku sudah mengamati selama tiga jam. Aku melihat tiga dari mereka di ujung jalan. Tapi mereka enggak mendekat. Mereka berbelok, mengambil rute lain, seolah-olah ada dinding tak kasat mata di sekitar rumah ini."

Pernyataan itu membuat suasana yang tadinya ringan kembali menjadi tegang.

"Mungkin kita beruntung," kata Jean, meskipun suaranya terdengar ragu.

"Aku enggak percaya pada keberuntungan," balas Elena. "Aku percaya pada pola. Dan pola ini menunjukkan bahwa mereka enggak 'melewatkan' kita. Mereka secara aktif 'menghindari' kita. Pertanyaannya adalah kenapa."

Sebelum ada yang bisa menjawab, sebuah suara halus dari lantai atas membuat mereka semua membeku.

Kriet...

Itu adalah suara papan lantai kayu yang diinjak. Sangat pelan, hampir tidak terdengar. Tapi di tengah keheningan rumah itu, suara itu terdengar seperti letusan senjata.

Mereka saling pandang, mata mereka membelalak ngeri. Orion langsung mengangkat pipa besinya, memberi isyarat agar semua orang diam. Jantung mereka berdebar kencang. Mereka tidak sendirian. Selama ini, mereka tidak pernah sendirian.

Ravi gemetar, matanya dengan panik menatap langit-langit. "Si-siapa di sana?" bisiknya.

Lihat selengkapnya