Dua puluh empat jam pertama di bawah rezim keheningan adalah sebuah bentuk siksaan yang baru. Udara di lantai dua itu terasa padat dan berat, seolah setiap molekulnya dipenuhi oleh kata-kata yang tak terucap dan jeritan yang tertahan. Komunikasi mereka menjadi tarian isyarat yang canggung dan frustrasi. Sebuah lambaian tangan untuk memanggil, jari yang menunjuk ke perut untuk lapar, atau tatapan mata yang tajam untuk memperingatkan. Papan tulis tua yang mereka temukan di salah satu kamar menjadi pusat peradaban mereka, tempat mereka menuliskan rencana, pertanyaan, dan ketakutan dalam keheningan yang memekakkan.
Sang penjaga rumah, lelaki tua yang kemudian mereka sebut dalam tulisan mereka sebagai “Pak Tua”, bergerak di lantai bawah seperti hantu. Mereka akan mengintip dari puncak tangga, mengamatinya. Ia memiliki ritme yang tak pernah berubah. Pagi hari ia merawat sebuah taman hidroponik kecil yang ia buat di dekat jendela belakang, menggunakan cahaya matahari untuk menumbuhkan beberapa jenis sayuran pucat. Siang hari ia akan duduk di kursi goyangnya, membaca buku yang sama berulang-ulang, atau mengasah pisaunya dalam gerakan yang lambat dan tanpa suara. Ia tidak pernah naik ke lantai dua. Ia tidak pernah menatap mereka secara langsung, kecuali jika mereka membuat kesalahan.
Kesalahan pertama datang dari Bimo. Saat mencoba meraih sebuah buku dari lemari untuk mengusir kebosanan, sikunya tidak sengaja menyenggol sebuah vas porselen kecil. Vas itu jatuh ke lantai kayu dengan bunyi “TRAK!” yang terdengar seperti ledakan granat di tengah keheningan.
Mereka semua membeku. Jantung mereka berhenti berdetak. Bimo menutup mulutnya dengan ngeri, matanya membelalak. Dalam hitungan detik, Pak Tua sudah berdiri di kaki tangga, menatap lurus ke arah mereka. Tidak ada kemarahan di wajahnya, hanya kekecewaan yang dingin dan menusuk. Ia menatap mereka selama sepuluh detik yang terasa seperti satu jam, lalu menggelengkan kepalanya perlahan, dan kembali ke ruangannya tanpa sepatah kata. Peringatan itu lebih efektif daripada teriakan manapun. Sejak saat itu, mereka bergerak seperti pencuri di dalam rumah mereka sendiri.
Beberapa hari berlalu dalam rutinitas sunyi yang menyiksa ini. Jean, dengan ketelitiannya, membuat semacam kamus bahasa isyarat di papan tulis, agar komunikasi mereka lebih efisien. Elena menghabiskan waktunya dengan menulis tanpa henti di buku catatannya, mengamati semua orang, terutama Bimo dan sang Pak Tua, seolah mereka adalah dua spesimen langka dalam sebuah penelitian. Ravi menjadi semakin pendiam dan gelisah. Terlalu banyak waktu untuk berpikir adalah racun baginya. Ia terus-menerus membersihkan pisau dapurnya, matanya bergerak liar, seolah menunggu serangan dari bayangan.
Sementara itu, Orion merasakan beban dari keheningan itu. Sebagai pemimpin, ia harus menegakkan aturan yang ia sendiri tidak sepenuhnya pahami, dari seorang lelaki yang tidak ia percayai. Setiap desis napas, setiap derit lantai, terasa seperti kegagalan di pihaknya.
Masalah terbesar datang dari aturan ketiga: AIR HANYA BOLEH DIAMBIL SAAT HUJAN DERAS.
Sudah empat hari, dan langit Bogor yang biasanya murung justru cerah dan panas. Botol-botol air yang mereka isi dari pompa sumur sudah hampir kosong. Jean, sebagai penanggung jawab perbekalan, menunjukkan botol terakhir yang isinya tinggal seperempat pada Orion. Tulisan yang ia goreskan di papan tulis terasa seperti vonis mati.
AIR HABIS MALAM INI.
Keputusasaan kembali mencengkeram mereka. Mereka bisa melihat penyelamat mereka, ‘pompa air itu’ berdiri dengan angkuh di halaman belakang, tetapi mereka tidak bisa menyentuhnya.
Malam itu, mereka berkumpul dalam sebuah rapat bisu di sekitar cahaya redup senter. Perdebatan mereka terjadi di atas papan tulis.
KITA HARUS AMBIL AIR. SEKARANG, tulis Ravi dengan tekanan yang keras hingga arangnya nyaris patah.
Orion menghapus tulisan itu dan menulis balasannya. TERLALU BERISIKO. SUARANYA AKAN TERDENGAR DI SELURUH PENJURU.