Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #15

Perjanjian yang Dilanggar

Kemarahan lelaki tua itu terasa seperti musim dingin yang datang tiba-tiba. Tidak ada teriakan, tidak ada umpatan. Hanya ada hawa dingin yang memancar dari matanya yang pucat, sebuah kekecewaan yang begitu dalam hingga terasa seperti vonis. Ia tidak membuang waktu. Tangannya yang kurus namun sekuat baja mencengkeram lengan Orion, menariknya dengan paksa menjauh dari pompa air. Ia melakukan hal yang sama pada Jean, mendorong mereka berdua kembali ke dalam rumah.

Pintu belakang dibanting menutup dan digerendel dengan satu gerakan cepat yang efisien. Di dalam, Ravi, Elena, dan Bimo menatap mereka dengan cemas, tidak mengerti apa yang terjadi.

Pak Tua tidak memberi mereka waktu untuk bertanya. Ia melesat menaiki tangga dengan kecepatan yang tidak sesuai dengan usianya. Ia membangunkan Ravi dan yang lain yang sudah setengah tertidur di lantai tiga dengan guncangan kasar di bahu mereka. Ia tidak lagi peduli pada aturannya tentang lantai atas dan bawah. Rumah ini, seluruhnya, kini berada dalam status siaga satu.

Ia mengumpulkan mereka semua di tengah ruang keluarga di lantai dua, jauh dari jendela dan dinding. Komunikasinya kini lebih cepat, lebih mendesak. Ia menunjuk ke luar, ke segala arah, lalu membuat gerakan merayap dengan jari-jarinya, menggambarkan pengepungan. Ia kemudian menggambar simbol lingkaran-dan-titik itu di udara dengan jarinya, menatap mereka dengan tajam seolah bertanya, Kalian lihat? Ini yang kalian undang.

Perasaan bersalah menghantam Orion dan Jean seperti gelombang. Kesalahan bodoh mereka, kebutuhan sesaat akan air telah membahayakan semua orang, termasuk lelaki tua yang telah memberikan mereka perlindungan dalam keheningannya.

Pak Tua memberi isyarat terakhir: jari telunjuk di depan bibir, lalu menunjuk ke lantai, memerintahkan mereka untuk duduk dan diam. Ia sendiri berdiri di puncak tangga, diam seperti patung, mendengarkan malam.

Dan mereka menunggu.

Menit-menit berlalu dalam keheningan yang menyiksa. Tidak ada apa-apa. Suara jangkrik bahkan terdengar lagi. Mungkin mereka salah lihat? Mungkin para Jangkitan itu hanya lewat?

Lalu, sebuah suara memecah keheningan.

Tap ... tap ... tap ...

Sangat pelan. Sangat lembut. Suara itu datang dari jendela yang sudah mereka barikade di sisi barat rumah. Itu bukan suara serangan, melainkan seperti ketukan jari yang penasaran. Menguji. Merasakan.

Semua orang menahan napas. Ravi mulai gemetar lagi. Bimo memeluk lututnya erat-erat.

Tap ... tap ... tap ...

Suara itu terus berlanjut, sebuah siksaan psikologis yang perlahan-lahan menggerogoti saraf mereka.

Tiba-tiba, saat semua perhatian mereka terfokus pada suara ketukan itu …

KRAAAKKK!

Sebuah suara keras datang dari arah yang berlawanan. Dari dapur di lantai satu. Suara kaca yang pecah, diikuti oleh bunyi benda-benda logam yang jatuh ke lantai.

Sebuah pengalihan.

Mereka langsung mengerti. Makhluk di luar sana sengaja membuat suara di satu sisi untuk menarik perhatian mereka, sementara yang lain menyusup dari sisi yang berlawanan. Mereka sedang diakali oleh para monster.

Pak Tua tidak terkejut. Ia seolah sudah mengantisipasinya. Matanya yang tajam melirik ke arah Orion, lalu menunjuk ke dirinya sendiri dan ke Orion, sebelum menunjuk ke arah tangga. Mereka di sini.

Orion mengangguk, jantungnya berdebar kencang. Ia mencengkeram pipa besinya. Pak Tua, dengan gerakan yang tetap sunyi, mengambil senjata pilihannya: sebuah wajan penggorengan dari besi cor yang tebal dan berat, yang tergeletak di dapur kecil lantai atas.

Mereka menuruni tangga selangkah demi selangkah, bayangan mereka menari-nari di dinding. Jean, Ravi, Elena, dan Bimo meringkuk di belakang, melihat dari puncak tangga dengan ngeri.

Dari posisi mereka, mereka bisa melihat sebagian dapur di lantai satu. Sebuah Jangkitan kurus dan lincah sedang berusaha memanjat masuk melalui jendela dapur yang sempit dan tinggi. Ia berhasil memecahkan kacanya dengan batu, dan kini setengah dari tubuhnya sudah berada di dalam, tangannya yang kurus menggapai-gapai meja di bawahnya.

Saat Orion bersiap untuk menyerang, matanya menangkap sesuatu di dinding lorong lantai dua. Sebuah foto tua yang sudah pudar, tergantung sedikit miring. Foto seorang lelaki yang lebih muda, jelas Pak Tua tengah tersenyum bangga di samping seorang gadis remaja dengan rambut dikepang. Di bawah bingkai kayu, terukir sebuah plakat kuningan kecil: Bapak Surya dan Kirana.

Lihat selengkapnya