Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #16

Guru Hening dan Muridnya yang Baru

Fajar kelima adalah fajar yang paling sunyi. Keheningan yang datang setelah badai. Di luar, di bawah cahaya matahari pagi yang pucat, bangkai-bangkai Jangkitan yang remuk di rerumputan adalah monumen bisu dari pertempuran malam mereka. Di dalam, tidak ada yang bicara. Kelelahan yang mereka rasakan begitu dalam, bukan hanya di otot, tapi di jiwa. Mereka telah selamat, tetapi setiap kemenangan di dunia ini terasa seperti hanya menunda kekalahan.

Pak Tua ‘Surya’, Orion mengingat nama di bingkai foto itu adalah yang pertama bergerak. Tanpa sepatah kata, ia menuruni tangga. Gerakannya masih sepelan dan seefisien sebelumnya, seolah pertempuran semalam tidak menguras energinya sama sekali. Mereka mengawasinya dari atas. Dengan ketenangan yang mengerikan, ia mengambil selembar terpal besar dari gudang, menyeret tubuh Jangkitan yang setengah masuk itu keluar dari jendela dapur, membungkusnya, lalu menyeretnya menjauh dari rumah, meninggalkannya di seberang jalan bersama bangkai yang satunya. Ia melakukan pekerjaan mengerikan itu seolah sedang membuang sampah. Bagi mereka, itu adalah horor. Baginya, itu hanyalah pekerjaan rumah.

Setelah kembali ke dalam, suasana di antara para remaja itu mulai mencair, dipecah oleh sebuah tindakan yang tak terduga. Ravi, yang sejak semalam hanya diam dengan wajah pucat, berjalan mendekati Bimo yang sedang duduk di sudut. Bimo secara refleks tersentak, mengira akan dimarahi lagi.

Tapi Ravi hanya berdiri canggung di depannya. "Semalam ..." katanya pelan, suaranya serak. "Saat aku ... mau teriak. Kamu ... terima kasih."

Itu bukan ucapan terima kasih yang pantas, tapi itu lebih dari cukup. Bimo menatapnya, terkejut, lalu hanya bisa mengangguk pelan. Momen singkat itu adalah jembatan pertama yang dibangun di atas jurang konflik mereka. Jean dan Orion saling pandang, secercah kelegaan melintas di antara mereka. Mungkin, mungkin saja, mereka bisa melewati ini bersama.

Saat itulah, Surya kembali naik ke lantai dua. Ia tidak lagi mengabaikan mereka. Ia menatap mereka satu per satu, seolah membuat keputusan. Matanya berhenti paling lama pada Jean. Gadis itu, meskipun takut, berdiri tegak di samping Orion, posturnya waspada, tangannya mencengkeram pipa besi seolah itu adalah busur. Caranya berdiri, caranya mengamati sekeliling dengan mata yang tajam... begitu mirip. Begitu menyakitkan.

Di saat ia mengamati anak-anak muda yang ketakutan itu, gema dari masa lalu yang ia coba kubur dalam-dalam kembali menghantamnya.

Ingatan itu datang tanpa diundang, sebuah film bisu yang diputar di benaknya. Hari pertama. Kekacauan di jalanan. Ia dan Kirana, putrinya yang berusia tujuh belas tahun, berhasil melarikan diri dari gerombolan pertama. Kirana, pemanahnya yang pemberani, pahlawannya. Mereka menemukan tempat berlindung di sebuah gudang tua.

"Kita aman, Ayah," bisik Kirana saat itu, napasnya terengah-engah, tapi matanya masih bersinar dengan semangat juang.

Tapi mereka tidak aman. Satu Jangkitan berhasil menyelinap masuk dari atap yang bocor. Makhluk itu tidak menyerangnya. Ia menyerang Surya, yang punggungnya sedang menghadap ke arah bahaya. Surya tidak akan pernah melupakan suara desingan anak panah Kirana yang melesat melewati telinganya, menancap tepat di leher Jangkitan itu. Tapi ia juga tidak akan pernah melupakan bagaimana Jangkitan itu, dalam detik-detik terakhirnya, berhasil menerjang maju dan menancapkan giginya di lengan Kirana yang terulur untuk melindungi ayahnya.

Jeritan Kirana saat itu adalah suara terakhir yang Surya dengar sebelum dunianya menjadi sunyi.

Mereka menunggu, sama seperti anak-anak ini menunggu nasib Bimo. Mereka berdoa, mereka berharap akan ada keajaiban. Tapi keajaiban tidak datang untuk Kirana. Demam. Kejang. Dan kemudian ... mata yang tadinya penuh cinta itu berubah menjadi merah dan kosong. Surya harus melakukannya. Dengan pisau berburu yang sama yang kini terselip di pinggangnya, ia harus mengakhiri penderitaan putrinya sebelum monster itu mengambil alih sepenuhnya. Tindakan itu telah membunuh sesuatu di dalam dirinya. Itu telah merenggut suaranya, merenggut jiwanya, meninggalkannya sebagai cangkang kosong yang hanya bergerak karena insting.

Surya tersentak dari lamunannya saat melihat Bimo. Anak laki-laki itu. Keajaiban yang tidak ia dapatkan. Bimo yang selamat dari gigitan. Melihatnya adalah sebuah siksaan sekaligus secercah penebusan yang aneh. Mungkin ... mungkin keajaiban memang ada, hanya saja datang terlambat untuknya.

Lihat selengkapnya