Beberapa hari berikutnya berlalu dalam rutinitas yang aneh dan menegangkan. Rumah hening itu telah menjadi biara mereka, dan Pak Tua Surya adalah kepala biarawan yang bisu. Mereka belajar berkomunikasi dengan seminimal mungkin suara: goresan arang di papan tulis, isyarat tangan yang rumit, dan yang paling penting, tatapan mata. Mereka belajar cara berjalan tanpa membuat lantai berderit, cara membuka dan menutup pintu tanpa bunyi klik, cara hidup seperti hantu.
Jean menemukan dunianya kembali. Setiap fajar, ia akan naik ke posnya di jendela lantai tiga, busur Kirana di genggaman tangannya. Memegang busur itu terasa seperti pulang ke rumah. Otot-otot di punggung dan lengannya yang sudah lama tertidur kini kembali terjaga. Ia akan menarik tali busur tanpa anak panah, merasakan kekuatannya, menahan napas, dan membidik titik-titik imajiner di antara bangunan-bangunan mati di luar. Itu adalah meditasinya, caranya mengasah kembali jati dirinya yang sempat hilang.
Ia adalah sang pengamat. Dari atas, ia mempelajari ritme kota yang baru. Para Jangkitan memang menghindari jalan di depan rumah mereka, menciptakan semacam "zona demiliterisasi" yang mengerikan. Tapi mereka ada di mana-mana di perbatasan zona itu. Jean melihat pola mereka: mereka bergerak dalam kelompok-kelompok kecil di pagi hari, hampir seperti patroli, dan berkumpul menjadi gerombolan yang lebih besar dan lebih agresif saat malam tiba.
Dan pada pagi hari keenam, ia melihat sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuat darahnya terasa dingin.
Di atap sebuah gedung perkantoran di seberang jalan, sekitar seratus meter jauhnya, sesosok Jangkitan berdiri. Tapi ia berbeda. Sementara yang lain bergerak dengan kaku atau dengan kecepatan buas yang tersentak-sentak, yang satu ini bergerak dengan keluwesan seekor macan kumbang. Tubuhnya lebih tinggi dan lebih ramping. Ia tidak ikut berpatroli. Ia hanya berdiri di sana, di tepi atap, dan menatap. Tatapannya tertuju lurus ke arah rumah mereka.
Ia tidak hanya melihat. Ia sedang mengamati. Mempelajari.
Jean menahan napas, perlahan-lahan merunduk di bawah ambang jendela, jantungnya berdebar kencang. Ia segera turun dan memberi tahu yang lain dengan isyarat tangan yang panik. Satu per satu, mereka naik dan mengintip dengan hati-hati.
Mereka semua melihatnya. Makhluk itu. Sang Alfa.
"Dia tahu," tulis Ravi di papan tulis, tangannya gemetar. "Dia tahu kita di sini selama ini."
"Dia bukan sekadar tahu," tulis Elena di bawahnya, matanya berkilat penuh semangat analitis yang mengerikan. "Dia sedang menyusun strategi. Dia mempelajari benteng kita, mencari titik lemah. Serangan semalam hanyalah sebuah tes."
Kesadaran itu menghantam mereka dengan keras. Waktu mereka di surga yang sunyi ini sudah hampir habis. Pak Tua, yang juga ikut mengamati dari bayangan, sepertinya sampai pada kesimpulan yang sama. Ia berjalan ke peta Bogor yang terbentang di lantai, dan mengetuknya dengan jarinya. Pesannya jelas: Waktunya merencanakan jalan keluar.
Rapat perang mereka kali ini terasa berbeda. Tidak ada lagi perdebatan sengit antara kepanikan dan kehati-hatian. Ancaman dari sang Alfa telah menyatukan mereka dalam tujuan yang sama. Mereka semua tahu: tinggal di sini lebih lama lagi berarti menunggu untuk dieksekusi.
Pak Tua mengambil alih peran sebagai ahli strategi utama. Dengan menggunakan arang, ia mulai menggambar di atas peta itu. Ia tidak lagi hanya menunjuk. Ia menggambar rute-rute baru yang tidak terpikirkan oleh mereka. Garis-garis putus-putus yang melewati saluran drainase bawah tanah, rute panjat atap dari satu ruko ke ruko lain, sebuah jembatan tua di atas sungai yang tidak ada di peta umum. Ia menunjukkan pada mereka Bogor yang tersembunyi, Bogor yang hanya diketahui oleh seseorang yang telah tinggal di sana seumur hidupnya.
Tujuan mereka tetap sama: Markas Polisi Pusat untuk persenjataan, lalu Lapangan Sempur sebagai titik akhir yang penuh harapan sekaligus bahaya. Tapi rute untuk sampai ke sana kini jauh lebih kompleks dan jauh lebih tersembunyi.