Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor

Kingdenie
Chapter #18

Air Mata Pengkhianat

Fajar keenam datang dengan warna baja dan janji darah. Tidak ada kata perpisahan. Saat Orion mendorong membuka pintu belakang rumah hening itu untuk terakhir kalinya, Pak Tua hanya berdiri di ambang pintu dapurnya. Ia menatap mereka satu per satu, matanya berhenti sejenak pada busur di punggung Jean, lalu pada Bimo. Ia mengangguk sekali, sebuah gerakan kecil yang sarat dengan makna, sebuah restu, sebuah peringatan, sebuah ucapan selamat jalan. Lalu, ia melangkah mundur ke dalam bayangan rumahnya, dan pintu pun tertutup. Mereka kembali sendirian.

Perjalanan dimulai. Surya telah memberi mereka rute yang brilian sekaligus menakutkan. Alih-alih melewati jalanan terbuka, ia mengarahkan mereka ke sebuah lubang selokan besar yang tersembunyi di bawah jembatan tua, pintu masuk ke jaringan drainase bawah tanah kota Bogor.

"Dia mau kita lewat sini?" bisik Ravi ngeri, menatap lubang hitam yang menganga dan berbau busuk itu.

"Lebih baik daripada di atas sana," jawab Orion tegas, menyalakan senter ponselnya. "Tidak ada Jangkitan di bawah sini. Setidaknya, itulah teorinya."

Satu per satu mereka menuruni tangga besi yang licin itu, masuk ke dalam perut kota. Dunia mereka langsung berubah menjadi terowongan beton yang gelap, sempit, dan bergema. Satu-satunya cahaya hanyalah dari senter mereka, menyoroti air kotor setinggi mata kaki yang mengalir pelan dan dinding-dinding yang dilumuri lumut. Udara terasa dingin dan pengap. Setiap suara, tetesan air dari langit-langit, langkah kaki mereka yang tercebur terdengar sepuluh kali lebih keras.

Selama hampir satu jam mereka berjalan dalam kegelapan yang sangat pekat. Perjalanan itu menguras fisik dan mental. Otot mereka tegang karena harus terus waspada, dan kegelapan total menggerogoti saraf mereka. Akhirnya, Orion menemukan sebuah tanda yang digambar Surya di peta: sebuah tangga darurat yang mengarah ke atas.

"Kita istirahat di sini sebentar," kata Orion, suaranya menggema. "Minum. Kita harus tetap terhidrasi."

Mereka berkumpul di bawah lubang tangga, bersandar di dinding yang lembap. Jean mengeluarkan tiga botol air yang sudah ditandai secara rahasia olehnya tadi malam dengan goresan kecil di tutupnya, firasat buruknya masih membekas. Tapi dalam kegelapan dan kelelahan, ia tidak bisa melihat tanda itu. Ia menyerahkan satu botol pada Ravi dan Bimo untuk dibagi, dan satu lagi untuk dirinya dan Orion. Elena dengan tenang mengeluarkan botolnya sendiri dari tasnya.

Mereka minum dalam diam, merasakan air yang sejuk itu membasahi tenggorokan mereka.

Orion teringat dengan Surya. Lelaki tua itu pasti punya alasannya sendiri untuk tetap tinggal, pikirnya. Sebuah kesalahan fatal dalam asumsinya.

Mereka melanjutkan perjalanan. Dan di situlah racun itu mulai bekerja.

Mereka keluar dari selokan di sebuah area industri yang telantar, tepat seperti yang digambarkan peta Surya. Pabrik-pabrik tua yang berkarat berdiri seperti kerangka dinosaurus di bawah langit kelabu. Tempat itu seharusnya menjadi titik transit yang aman sebelum mereka melanjutkan perjalanan. Tapi sesuatu terasa salah.

Ravi adalah yang pertama merasakannya. "Gila," gumamnya, memijat pelipisnya. "Aku kok ngantuk sekali, ya? Kurang tidur kayaknya." Ia menguap lebar, langkahnya mulai terasa berat.

Jean juga merasakannya. Kelopak matanya terasa seperti timah, dan fokusnya yang biasanya setajam elang kini mulai kabur. Pipa besi di tangannya terasa sepuluh kali lebih berat. "Aku juga," katanya pelan. "Mungkin karena udara di selokan tadi."

Orion merasakan hal yang sama. Tubuhnya, yang biasanya terasa ringan dan penuh energi, kini terasa lamban dan canggung. Setiap gerakan membutuhkan usaha dua kali lipat. Refleksnya yang secepat kilat terasa tumpul. Ia merasa seolah sedang bergerak di dalam air. Ini bukan kelelahan biasa. Ini adalah sesuatu yang asing, sesuatu yang kimiawi.

Lihat selengkapnya