Waktu seolah membeku di antara ujung anak panah dan jantung Elena. Udara di kompleks industri yang telantar itu terasa berat, dipenuhi oleh keheningan yang lebih mencekam daripada suara apa pun. Tali busur di tangan Pak Tua Surya menegang sempurna, sebuah garis lurus antara keadilan dan kematian. Di ujung garis itu, Elena berdiri. Wajahnya pucat, rencananya hancur berantakan, tetapi matanya tidak menunjukkan rasa takut. Hanya ada amarah dingin dari seorang ahli strategi yang kalkulasinya digagalkan oleh variabel yang tidak ia duga.
Orion berjuang untuk bangkit, tubuhnya terasa seperti karung basah yang berat. Obat penenang itu mengalir di nadinya seperti lumpur, memperlambat setiap pikiran, menumpulkan setiap refleks. Tapi amarah memberinya kekuatan. "Kenapa?" hanya itu kata yang berhasil keluar dari mulutnya yang terasa kaku.
Elena tertawa, sebuah tawa yang kering dan tanpa humor. "Kenapa?" ulangnya. "Karena aku satu-satunya yang berpikir di antara kalian semua! Kalian berjalan menuju Lapangan Sempur? Menuju militer yang sudah dengan jelas mengatakan akan menembak warga sipil di tempat? Itu bukan rencana, itu ritual bunuh diri!"
"Kami punya harapan!" seru Jean, suaranya lemah saat ia bersandar di dinding untuk menopang tubuhnya.
"Harapan adalah kemewahan yang tidak kita miliki!" balas Elena tajam. "Yang kita miliki adalah aset," tatapannya beralih ke Bimo. "Dia adalah kunci untuk memulai kembali peradaban. Bukan di tengah kota yang sudah membusuk ini, tapi di tempat yang aman. Tempat yang sudah disiapkan ayahku. Aku tidak mencoba membunuh kalian, aku mencoba menyelamatkan masa depan!"
"Dengan membuat kami menjadi mangsa empuk bagi para Jangkitan?!" raung Ravi, yang kini berhasil duduk, wajahnya dipenuhi amarah yang mengalahkan rasa kantuknya. "Bunuh dia, Pak Tua! Tembak dia sekarang! Dia pantas mati!"
Anak panah di tangan Surya sedikit bergetar. Matanya yang kelabu menatap Elena, lalu beralih ke Orion, seolah meminta keputusan akhir. Dialah pemimpin kelompok ini. Dialah yang harus memberikan vonis.
Orion menatap Elena, sang pengkhianat. Lalu ia menatap teman-temannya yang tak berdaya. Membunuh Elena sekarang akan terasa begitu memuaskan. Begitu adil. Itu akan menghilangkan satu ancaman. Tapi saat ia menatap ujung panah yang berkilat itu, ia melihat bayangan dirinya sendiri, seseorang yang mengambil nyawa dalam darah dingin. Kakeknya pernah berkata, “Saat kau membunuh karena benci, monster yang sebenarnya bukanlah yang kau hadapi, tapi yang ada di dalam dirimu.”
Dengan susah payah, melawan kabut tebal di otaknya, Orion mengangkat tangannya. "Jangan," katanya pada Surya, suaranya serak tapi tegas.
Ravi menatapnya tak percaya. "Apa?! Orion, dia baru saja mencoba membunuh kita!"
"Aku tahu," kata Orion, matanya tak pernah lepas dari Surya. "Tapi ... kita ... bukan ... pembunuh." Setiap kata adalah perjuangan. "Jika kita membunuhnya, kita sama saja seperti dia. Kita sama seperti mereka, para Jangkitan."
Surya menatap Orion untuk waktu yang lama. Di matanya yang tua, terlihat badai konflik. Ia telah melihat kekejaman dunia ini lebih dari yang bisa mereka bayangkan. Tapi di hadapannya ada seorang pemuda yang di ambang kematian, masih berpegang pada seutas benang kemanusiaan. Dengan sebuah helaan napas panjang yang seolah membawa beban seluruh dunia, Surya perlahan-lahan menurunkan busurnya. Anak panah itu tidak lagi mengarah ke jantung Elena, tapi ia tidak melepaskannya dari tali busur. Ancaman itu masih ada, menunggu.
Mereka tidak bisa tinggal di tempat terbuka. Dengan Orion, Jean, dan Ravi yang nyaris tidak bisa berjalan lurus, mereka sangat rentan. Surya, yang kini mengambil alih komando taktis, mengarahkan mereka ke sebuah bangunan kecil di tengah kompleks itu sebuah kantor mandor yang tampaknya paling kokoh. Pintunya terbuat dari baja, dan jendelanya memiliki terali besi.
Sebelum masuk, mereka harus berurusan dengan Elena. Orion mengambil gulungan kabel tipis yang tergeletak di tanah. "Berbalik," perintahnya pada Elena.