Fajar hari ketujuh di dunia yang baru terasa seperti awal yang sesungguhnya. Saat mereka meninggalkan kantor mandor yang pengap itu, udara pagi terasa berbeda. Kepergian Elena telah mengangkat selubung ketakutan yang selama ini menyelimuti mereka. Atmosfer di antara kelima penyintas yang tersisa terasa lebih ringan, bukan karena harapan, melainkan karena kesedihan yang dibagikan bersama. Pengkhianatan telah menjadi api penyucian yang membakar habis sisa-sisa ketidakpercayaan di antara mereka, menyisakan sebuah ikatan yang rapuh namun tulus, yang terjalin dari trauma bersama.
Mereka tidak lagi bergerak seperti sekumpulan orang asing yang ketakutan. Mereka bergerak seperti sebuah unit.
Surya, Pak Tua yang memilih untuk bisu, mengambil posisi di depan, menjadi mata dan insting mereka. Ia tidak berjalan; ia mengalir melewati reruntuhan kota, kakinya nyaris tidak menimbulkan suara di atas serpihan kaca dan kerikil. Tepat di belakangnya, Bimo berjalan dengan kewaspadaan baru. Ia adalah telinga mereka. Kepalanya sesekali miring, matanya terpejam, mendengarkan simfoni kematian kota, erangan jauh, suara langkah kaki yang terseret-seret, atau keheningan total yang justru paling berbahaya.
Jean mengikuti di belakang mereka, busur Kirana di tangannya yang siaga, anak panah sudah terpasang di talinya. Ia adalah taring mereka, sang pengeksekusi sunyi dari kejauhan. Dan di belakang, Orion dan Ravi menjaga punggung mereka. Orion sebagai perisai dan komandan taktis, dan Ravi, yang kini lebih pendiam dan fokus, matanya terus-menerus memindai setiap bayangan, menebus kepanikannya di masa lalu dengan kewaspadaan yang berlebihan.
Rute yang digambar Surya di peta membawa mereka melewati labirin yang tidak akan pernah mereka temukan sendiri. Mereka menyusuri parit-parit kering yang membentang di belakang komplek perumahan, melintasi atap-atap ruko yang saling terhubung, dan melewati halaman belakang sebuah masjid yang sunyi di mana puluhan orang tergeletak tak bernyawa di atas sajadah mereka, seolah kiamat datang di tengah-tengah doa terakhir mereka.
Di sepanjang jalan, mereka melihat lebih banyak lagi simbol lingkaran dan titik itu, digambar di dinding-dinding dengan cat, darah kering, atau bahkan digoreskan di pintu mobil. Itu adalah peta teritori musuh, dan berkat Surya, mereka bergerak di antara garis-garisnya, seperti hantu di tanah tak bertuan.
Setelah hampir dua jam berjalan, mereka menemui hambatan pertama. Sebuah jalan sempit yang harus mereka lewati untuk mencapai jembatan selanjutnya ternyata tidak kosong. Tiga Jangkitan berdiri di sana. Mereka diam, kepala mereka menoleh ke satu arah yang sama, seolah sedang mendengarkan sesuatu yang sangat jauh. Mereka tampak seperti penjaga gerbang.
Orion memberi isyarat tangan: berhenti. Mereka berlindung di balik sebuah mobil bak terbuka yang berkarat.
3 TARGET. TERLALU BERISIKO UNTUK LEWAT. CARI JALAN LAIN? Orion menulis dengan cepat di buku catatan Elena yang kini ia bawa.
Surya menggeleng. Ia menunjuk ke peta. Ini adalah satu-satunya jalan pintas. Memutar akan memakan waktu satu jam dan membawa mereka ke area yang menurut Bimo "terlalu ramai".
Jean menepuk bahu Orion. Ia menunjuk ke arah dirinya, lalu ke busurnya. Matanya yang tenang dan fokus menyampaikan sebuah pesan yang jelas: Ini tugasku.
Orion menatapnya, ragu sejenak. Ini berbeda. Ini bukan mempertahankan diri. Ini adalah pembunuhan yang direncanakan, sebuah serangan proaktif. Ia melihat ketegasan di mata Jean dan tahu bahwa gadis itu sudah siap. Ia mengangguk.
Jean mengambil posisi tiarap di tepi atap mobil bak terbuka itu, membiarkan busurnya bergerak bebas di sisi kendaraan untuk mendapatkan stabilitas maksimal. Surya menemaninya, menunjuk target pertama, seorang Jangkitan yang berdiri paling terpisah. Orion, Ravi, dan Bimo berjaga di bawah, siap untuk skenario terburuk.
Angin bertiup pelan, membawa serta bau busuk. Jean memejamkan matanya sejenak, menenangkan napasnya. Ia tidak lagi memikirkan tentang siapa mereka sebelumnya. Ia tidak lagi memikirkan tentang tragedi. Yang ada hanyalah target, angin, dan lintasan anak panah. Di dunia yang penuh kekacauan ini, kemurnian dari sebuah bidikan adalah satu-satunya hal yang masih masuk akal.
Ia menarik tali busur. Otot-ototnya bekerja dalam harmoni yang sempurna. Ia menahan napas. Waktu seolah melambat.
WUSSSSHHH ... THUK!